Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Saya bekerja dengan
jujur, tidak melakukan penyelewengan dalam bentuk apapun dan bekerja dengan
penuh dedikasi. Yang menjadi persoalan adalah, pada waktu seleksi penerimaan
karyawan saya berbohong dengan meninggikan IPK dan memperpanjang masa kerja
sebelumnya. Hal ini saya lakdikarenakan semenjak tahun-tahun terakhir kuliah
saya terbelit suatu persoalan yang sangant berat dan berkepanjangan sehingga
nilai akademik saya tidak maksimal dan pekerjaan saya terhenti-henti. Akan
tetapi kini saya mampu bekerja dengan baik dan stabil, serta tidak terbelit
masalah lagi.
Pertanyaan saya adalah ;
1. Bagaimana status atau hukum dari penghasilan yang saya peroleh
dari pekerjaan saya?
2. Dari diskusi saya dengan teman, ada dua pendapat mengenai hal
ini. Yang peetama Halal, dasaranya adalah penghasilan yang saya peroleh
mderupakan upah dan hasil dari jerih payah saya. Dan yang kedua adalah syubhat
atau haram karena walaupun saya bekerja dengan baik, akan tetapi aqadnya
bermasalah karena didasari oleh kebohongan saya. Dalam situasi seperti ini, apakah
berlaku kaidah ijtihada dimana jika benar dapat 2 pahala dan jika salah dapat 1
pahala alias tidak berdosa? Bagimana
syarat untuk berijtihad dalam masalah ini?
3. Apakah dalam hal ini bisa diberlakukan kaidah dharurar seperti
halnya pada perbankan konbvensional pada masa lalu?. Mengingat kondisi saya
belum memiliki modal yang cukup untuk
berwiraswasta. Bahkan, meskipun modal terkumpul, saya tidak punya
keahlian untuk memutarnya (menjalakan usaha)?
Demikian pertanyaan saya. Saya sungguh-sungguh
berharap redaksi SM / Majelis Tarjih berkenan menjawabnya, mengingat saya
benar-benar memerlukan fatwa atau pandangan pihak yang jauh lebih alaim dari
saya. Bila dipandang jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang baik
dampaknya bagi pembaca SM, saya mohon sudilah kiranya memberikan jawaban
pribadi melalui e-mail saya.
Akhir kata, saya sampaikan jazaakumullaah
khairan katsiiran.
Wasalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Pengirim :
Fata Abdurrahman.
Alamat : Perumahan Jatibening Permai, Jl. Matahari No.
76, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat 17412, No. HP : 082111548782
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban no 1:
Salah satu poin terpenting dari syari’at Islam adalah membina ummat manusia yang berakhlak karimah. Ada banyak nash
yang menunjukan hal tersebut, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan Imam Malik dalam al-Muwatta’;
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ ، أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ الله
قَالَ: )بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ
حُسْنَ الأَخْلاَقِ(
Artinya : Ia menceritakan kepadaku
dari Malik bahwa telah sampai sebuah hadist kepadanya bahwa Rasulullah pernah
bersabda “aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan kebaikan akhlak”.
(HR.
Malik No: 1609).
Keluhuran akhlak yang diajarkan Islam terdapat dalam segala aspek
kehidupan, termasuk dalam muamalah dan hubungna kita dengan sesame manusia dan
dalam kita mencari nafkah, Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : dan janganlah kalian memakan harta
sesama kalian dengna caraq yang bathil. Dan (janganlah) kalian menyuap dengan
harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian
harta orang lain itu dengan dosa padahal kalian mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah : 188).
Tidak diragukan lagi bahwa kebohongan atau penipuan seperti yang
telah anda lakukan adalah salah satu akhlak yang buruk. Terdapat banyak sekali dalil yang
mencela kedua perbuatan tersebut dengan keras, misalnya sabda Rasulullah saw
yang diriwayatkan Imam al-Bukhari
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ : )مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا
السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا(
Artinya : Dari Abu Hurairah, ia berkata
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda “barang siapa yang menipu
kami maka ia bukanlah bagian dari golongan kami (muslimun)”. (HR. al-Bukhari, No : 243).
Keadaan anda ketika itu yang sedang dalam kesulitan, bukanlah
sebuah alasan untuk membolehkan tindakan anda. Allah menciptakan semua yang ada
di bumi ini termasuk kesukaran yang menimpa anda untuk menguji manusia agar
mereka melakukan perbuatan yang terbaik, (QS. 5 : 48, QS. 6:165, QS.11:7, QS.
67:2 ).
Tentang penghasilan anda, maka hal pertama yang perlu diketahui
bahwa sesuai penjelasan di atas, anda memperoleh penghasilan anda dengan awal
yang zhalim. Meskipun itu untuk kemaslahatan anda, namun itu adalah
kemaslahatan yang diingkari syari’ (mulghah). Walaupun hal itu kita
anggap sebagai kemaslahatan, namun itu hanya kemaslahatan pribadi anda
sedangkan anda telah merugikan pelamar kerja yang lain serta menipu perusahaan
tempat mendaftar kerja. Padahal kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada
kemaslahatan pribadi,
المصالح العامة مقدم على المصالح
الخاصة
Harta yang diperoleh dari awal yang buruk atau
zhalim tidak menjadi hak bagi orang tersebut berdasarkan sebuah kaidah fikhiyah
yang juga potongan dari hadist yang diratakhrij Abu Daud, An-Nasai dan Yahya
bin Adam dalam kitab al-Kharaj berbunyi[1] :
ليس
لعرق ظالم حق
Artinya : tidak ada hak bagi akar yang
zhalim.
Al’arqu adalah akar dari pohon-pohon, Ia
disifati zhalim dengan arti majazi, maksudnya adalah seorang yang memperoleh
tanah dengan cara yang zhalim tidak berhak atas manfaat dari tanah itu, bila ia
mengelolanya[2]. Konteks hadis di atas adalah masyarakat pada
masa Rasulullah yang penghidupannya dengan bertani, jika kita bawa pada masa
sekarang, maka bisa dikatakan bahwa seseorang yang memperoleh sumber kehidupan
(pekerjaan) dengan cara zhalim termasuk menipu maka ia tidak berhak atas
hasilnya.
Jadi kami cenderung untuk meyatakan anda tidak berhak atasnya, sehingga
hukumnya makruh bahkan bisa saja haram. Meskipun anda merasa telah bekerja
dengan penuh dedikasi tetap saja karena adanya dalil di atas menjadikan
penghasilan anda sesuatu yang mutasyabihat. Dan Rasulullah memerintahkan kita
untuk menjauhi hal-hal yang mutasyabihat.
Namun demikian, anda telah menunjukan itikad baik untuk bertaubat,
setidaknya hati anda menjadi gelisah karena perbuatan anda di masa lalu
tersebut. Sebaik-baik orang yang melakukan dosa adalah seorang yang menyadari
dan bertaubat dari dosanya, seperti itulah dikatakan oleh Ali RA. Begitu pula
di dalam al-Qur’an ada banyak sekali ayat setrta hadist-hadist yang menunjukan
keutamaan bertaubat dan mulianya seorang yang bertaubat.
Menurut para ulama dmalam
dosa yang menyangkut dosa kepada adamiy atau sesame manusia, maka taubat
bisa diterima jika ia telah memaafkan[3]. Akan
tetapi jika anda meminta maaf kepada perusahaan yang telah anda tipu, dalam
artian mengaku telah memalsukan data-data, maka ada kemungkinan anda akan
dipecat.
Saran kami, jika anda memang
mau menyempurnakan taubat anda dengan meminta maaf, dan anda siap menghadapi
segala resikonya maka pilihan terbaik anda meminta maaf. Yakinlah bahwa Allah
tidak akan menyianyiakan hambanya yang berusaha menyempurnakan takwa, bahkan
baginya akan dibukakan pintu rezki, Allah SWT berfirman
:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا.
Artinya:“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan
baginya jalan keluar. Dan Ia memberikannya rezki dari arah yang ia tidak
sangka-sangka. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah
baginya, sesungguhnya Allah telah membuat ketetapan bagi segala sesuatu.” (at-Thalaq : 2-3).
Rasulullah saw bersabda :
من ترك شيا لله عوضه الله خيرا منه
Artinya:“Barang siapa yang meninggalkan
sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.”
(HR. Ahmad, 5/28).
Jika perusahaan
anda memaafkan kesalahan anda dengan pertimbangan anda telah bekerja dengan
penuh dedikasi, maka penghasilan anda menjadi halal.
Terakhir, kami kemukakan tuntunan Rasulullah saw apabila seseorang meragukan status perbuatannya
apakah termasuk perbuatan tercela (berdosa/haram) ataukah sesuatu yang boleh
(mubah/halal). Jika mengalami kebimbangan semacam ini, Rasulullah menuntunkan
untuk bertanya kepada nurani, sebagaimana sabdanya kepada Wabishah bin Ma’bad
al-Asady RA salah satu sahabat beliau ;
يا وابصة استفت نفسك البر ما اطمأن إليه القلب واطمأنت إليه النفس والإثم
ما حاك في القلب وتردد في الصدر وإن أفتاك الناس
Artinya : “Hai Wabishah, mintalah fatwa (keputusan) kepada
hatimu. Kebaikan adalah segala sesuatu yang dengannya hatimu menjadi tenang,
sedangakn dosa adalah segala hal yang membuat hatimu gelisah serta dalam dadamu
muncul keraguan, meskipun manusia telah memberikanmu fatwa”. (Musnad Imam
Ahmad, No : 17663, 17668. Sunan ad-Darimi, No : 2532).
Jawaban no 2,
Sebelum menjawab pertanyaan nomor dua ini, marilah kita telaah
terlebih dahulu tentang makna ijtihad.
Ijtihad menurut ahli ushul fikih ialah mencurahkan segenap
kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’ amali dengan satu metode.
Sedangkan dalam manhaj
tarjih muhammadiyah (hasil Munas Tarjih XXV)
ialah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun
disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Sehingga dari pengertian yang ada diatas, dapat ditarik sebuah
kesimpulan, bahwa ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan mujtahid untuk
menentukan suatu hukum dengan suatu metode atau pendekatan tertentu.
Yang dimaksud dengan kaidah ijtihad yang berbunyi apabila ijtihad
itu benar mendapat dua pahala, sedangkan kalau salah memperoleh satu pahala,
berasal dari sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana berikut:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ
أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Dari Amr bin al Ash bahwasanya ia mendengar Rasulullah
SAW bersabda : “Apabila seorang hakim menghukumi lalu ia berijtihad, kemudian
benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad, kemudian salah,
maka ia mendapat satu pahala”. (HR. Bukhari)
Seorang hakim yang disebutkan pada hadits tersebut adalah seorang
mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat mujtahid yang telah disepakati para
ulama’. Prof. Dr. T.M. Hasbie Ash Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Hukum Islam
Jilid I telah memaparkan syarat-syarat mujtahid yang telah disepakati para
ulama’, diantaranya ialah :
1.
Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum
Maksud ayat
disini ialah mengetahui mutlak, muqayyad, mujmal, aam, dan mukhassisya,
serta sebab-sebab turun ayat. Mengenai hadits, dapat memisahkan antara yang
shahih dengan dhaif, isnad hadits dan lain sebagainya
2.
Mengetahui masalah-masalah yang telah di-ijma’ kan oleh para
ahlinya
Maksud dari
syarat kedua ini ialah agar memberikan wawasan pemikiran tentang ijma’-ijma’
terdahulu.
3.
Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Seorang
mujtahid harus mengetahui hal ini, yaitu hukum yang telah mansukh (dibatalkan)
dan yang me-nasikh (membatalkan), agar hukum yang telah ditetapkan itu tidak
berpegang pada dalil yang yang mansukh.
4.
Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmunya
Menguasai
bahasa arab itu begitu penting bagi seorang kujtahid, karena sumber pokok
ajaran islam menggunakan bahasa arab, yaitu Al Quran dan Al Hadits. Ilmu ilmu
bahasa arab lainnya ialah nahwu sharaf, bayan, ma’ani, badi’.
5.
Mengetahui ilmu ushul fikih
Ilmu ini
tentunya begitu penting dalam membantu untuk menentukan hukum, sebagaimana
perkataan Al Fakhrurrazi dalam kitab Al Mahsul :
إن
أهم العلوم للمجتهد علم أصول الفقه
“sesungguhnya ilmu yang paling penting bagi
seorang mujtahid adalah ilmu ushul fikih”
6.
Mengetahui Asrarusysyariah (rahasia-rahasia syariah)
Imam Asy
Syatibi dalam kitabnya Al Muwafaqat mengatakan, bahwa derajat ijtihad dapat
diperoleh bagi orang yang faham tentang maksud syariat dibuat oleh Syari’
(pembuat syari’at). Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahu
maksud-maksud syariat yang tertera pada nash.
7.
Mengetahui Qawa’idil Fiqhi (kaidah-kaidah fikih)
Seorang
mujtahid memerlukan kaidah fikih dalam menentukan hukum, karena suatu kaidah
fikih dapat melengkapi berbagai cabang hukum lainnya.
Oleh sebab itu, apabila teman-teman anda sudah memenuhi
syarat-syarat tersebut, maka teman-teman anda sudah bisa disebut sebagai
seorang mujtahid, tetapi ketika seorang mujtahid menentukan suatu hukum tanpa
melalui musyawarah (ijtihad fardi), maka hal tersebut tidak dinamakan sebagai
ijtihad, karena tidak sesuai dengan paham agama dan prinsip ijtihad
muhammadiyah, bahwa ijtihad itu dilakukan secara kolektif atau musyawarah
(ijtihad jama’i).
Jawaban no 3,
Allah SWT berfirman,
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya.”(QS. al Baqarah: 173)
Artinya: “Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.(QS. Al An’am: 145)
Berdasarkan ayat di atas para fuqaha merumuskan kaidah fiqh,
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: “kemadharatan-kemadharatan
itu membolehkan larangan-larangan.”
Adapun pengertian kaidah ini adalah: apabila
dalam suatu keadaan yang sangat memaksa, yakni suatu keadaan yang
mengharuskan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang pada hakekatnya dilarang, maka melakukan perbuatan tersebut
dibolehkan, karena apabila tidak demikian mungkin akan menimbulkan suatu
mudharat pada dirinya.(Drs. H. Asjmuni A. Rahman: Qawa’idul Fiqhiyah)
Menyangkut perbankan konvensional, dalam
Keputusan Tarjih Sidoarjo, alasan tidak diharamkanya adalah karena saat itu
belum ada sama sekali perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah dan fungsi
dari bank tersebut adalah sebagai alat politik perekonomian Negara untuk
kesejahteraan ummat (stabilitas ekonomi)(HPT: hal 304). Hal itu bisa dipandang sebagai dharurat karena tidak ada alternatif
lain untuk mengembangkan perekonomian ummat selain menggunakan perbankan
konvensional dan jika tidak maka perekonomian ummat akan sulit berkembang. Lalu
permasalahannya adalah apakah kondisi Anda saat itu bisa menempati prinsip
dharurat yang bisa membolehkan larangan seperti halnya perbankan konvensional
di masa dulu?.
Melihat kondisi Anda, tidak menunjukkan data yang sebenarnya untuk
mendapatkan pekerjaan yang ketika itu menurut Anda tidak ada jalan lain selain
melakukan tindakan seperti itu karena alasan-alasan yang sulit, perlu ditinjau
kembali apakah tidak ada alternatif lain selain melakukan tindakan itu
(berbohong). Mengingat tindakan Anda berbohong untuk mendapatkan pekerjaan bisa
jadi ada pihak-pihak yang dirugikan, orang lain yang juga ingin
mendapatkan pekerjaan ditempat Anda
terhalang mendapat pekerjaannya karena didahului Anda. Dalam hal ini juga perlu adannya pertimbangan apakah tindakan
Anda yang tidak menunjukkan data yang tidak sebenarnya (berbohong) karena ada
alasan-alasan tertentu lebih ringan madharatnya daripada menunjukkan data yang
sebenarnya untuk menghindari adanya pihak-pihak yang dirugikan namun Anda dalam
posisi yang sulit. Dalam kaidah fiqh dikatakan bahwa mengambil kemudharatan yang terkecil adalah wajib,
ارتكاب اخف الضرارين واجب
Berdasarkan penjelasan di atas
sulit kiranya kondisi Anda bisa berlaku prinsip
dharurat
yang bisa membolehkan larangan. Kemudian baik kiranya, Anda jujur kepada
pimpinan perusahaan yang berwenang dalam penerimaan karyawan mengenai apa yang
Anda lakukan dulu ketika seleksi penerimaan karyawan, jika pimpinan Anda
bersikap adil tidak akan terjadi suatu hal yang tidak didinginkan karena Anda
telah bekerja dengan jujur dan penuh dengan dedikasi. Bagaimanapun juga jujur
merupakan perilaku yang terpuji, Nabi Muhammad saw bersabda,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ
صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي
إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ
كَذَّابًا (متفق
عليه)
Artinya:
“Sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan (ta’at) dan kebaikan itu
membawa ke surg. Dan seseorang membiasakan dirinya berkata benar hingga
tercatat di sisi Allah siddiq. Dan dusta membawa kepada perbuatan keji
sedangkan perbuatan keji membawa ke neraka. Dan seseorang yang suka berdusta
hingga tercatat di sisi Allah pendusta. ”(HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bisshawab.
tarjih_ppmuhammadiyah@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar