FIQH MAWARIS
I. Pengantar
A. Pengertian
Istilah Fiqh
Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan
dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta
peninggalan orang yang meninggal dunia.
Ada dua nama ilmu yang membahas
pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم
المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua
nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun
al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya
jelas berbeda.
Kataمواريث adalah
jama' dari ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ورث – يرث- ارثا - وميراثا . Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa
arti, di antaranya: al-baqa' (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال) "yang
berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta
peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa',
al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari
pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris. [Muhammad 'Ali as-Sabuny, al-Mawaris
fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab wa as-Sunnah, 1989, hlm. 33-34,
Muhammad Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, 1969, hlm. 7, Wahbah
az- Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy w a Adillathu, 1989, VIII: 243].
Dari
pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang
membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya
adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal
dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang
dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari
kata miras yang berarti tirkah).
Adapun kata fara'id (الفرائض) menurut bahasa
merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai
arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah (المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian
yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris.
Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut
ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli
waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Apabila
dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai
pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang
membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia
dibandingkan istilah fara'id.
Apabila
ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya
pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini
dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab
al- fara’id atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan
kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih
banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث. Buku-buku yang
khusus membahas kewarisan banyak yang menggunakan nama mawaris atau miras,
seperti buku yang ditulis oleh Hasanain Muhammad Makhluf dengan nama: المواريث
فى الشريعة الاسلامية ; Muhammad Yusuf Musa: التركة والميراث فى الاسلام ; Muhammad Abu Zahrah:احكام
التركات والمواريث ; Hilal Yusuf Ibrahim
: احكام
الميراث للمسلمين وغير المسلمين ,
dll.
Secara
terminologi terdapat beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai
pengertian ilmu mawaris atau ilmu fara'id. Banyak para ulama yang membuat
rumusan bahwa ilmu mawaris atau ilmu fara'id merupakan gabungan antara ilmu
fiqh dan ilmu hitung, sehingga dengan gabungan kedua ilmu ini dapat diketahui
siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan seseorang dan berapa
penerimaannya. Beberapa rumusan tersebut di antaranya:
Menurut
as-Syaikh Muhammad al-Khatib al-Syarbini:
الفقه المتعلق بالارث ومعرفة الحساب الموصل
إلى معرفة ذلك ومعرفة قدر الواجب من
التركة لكل ذى حقّ (مغنى المحتاج, 3:3 )
"Ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan
dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada
pembagian harta warisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta warisan bagi semua pihak yang mempunyai hak".
Menurut Wahbah
az-Zuhaily:
قواعد فقهية وحسابية يعرف بها نصيب كل وارث من التركة (الفقه الاسلامى وادلته, 8: 243 )
"Kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang dengannya dapat
diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".
Prof. Hasbi dalam
bukunya Fiqhul Mawaris, hlm. 18 mendefiniskan:
قواعد من الفقه والحساب يعرف بها
ما يخصّ كلّ ذى حقّ فى التركة ونصيب كلّ وارث منها
Dari rumusan
di atas dapat dibuat rumusan Fiqh Mawaris/Hukum Kewarisan, yaitu: "Aturan
hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia,
siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan tersebut, siapa saja ahli
waris dan berapa bagiannya".
Dari rumusan
di atas dapat diketahui bahwa menurut hukum Islam, kewarisan baru terbuka
setelah pewaris meninggal dunia.
Berbeda halnya
dengan pengertian kewarisan menurut hukum adat, karena menurut hukum adat,
kewarisan itu proses penerusan harta benda dari suatu angkatan manusia (generasi)
kepada turunannya. Hal ini seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. R. Soepomo, SH.
dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat, hlm. 81-82, sebagai berikut:
"Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari satu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi "akuut" oleh sebab orang tua meninggal dunia.
Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi
proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan
terus, hingga angkatan (generatie) baru, yang dibentuk dengan mencar
atau mentasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarga baru,
mempunyai dasar kehidupan materieele sendiri dengan barang-barang dari harta
peningalan orang tuanya sebagai fondamen".
Dari rumusan
kewarisan menurut hukum adat di atas, dapat diketahui bahwa pewarisan itu (1).
suatu proses meneruskan serta mengoperkan harta benda
keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah dimulai ketika orang tua
masih hidup. (2). Dari satu generasi (orang tua) kepada turunannya,
oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak turunnya pewaris,
(3) Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut dengan meninggalnya salah satu orang tua, artinya
ketika orang tua meninggal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.
B. Dasar Hukum Kewarisan
Dasar hukum
yang mengatur pembagian warisan dalam Islam adalah al-Qur'an dan al-hadis.
Kedua sumber hukum ini kemudian diperkaya dengan ijtihad para ulama.
1. Al-Qur'an:
Al-Qur'an
sebagai sumber hukum Islam yang pertama telah menjelaskan hukum kewarisan
secara cukup jelas. Menurut para ulama, tidak ada dalam syari'at Islam
hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-Qur'an sebagaimana hukum-hukum
kewarisan. Di dalam al-Qur'an aturan kewarisan sebagian besarnya diatur dalam
surat an-Nisa', yaitu ayat 11, 12,
176, yang menerangkan para ahli waris dan bagiannya. Sebenarnya dalam surat an-Nisa'
ayat 1, 7, 8. 9, 10, 13, 14, 33 mempunyai konteks dengan kewarisan [intisari
dari ayat-ayat ini, baca bukunya Ahmad Azhar Basyir : "Hukum Waris
Islam", hlm. 8-9].
2. Al-Hadis
Meskipun
al-Qur'an sudah menerangkan secara cukup rinci tentang ahli waris dan
bagiannya, hadis juga menerangkan beberapa hal tentang pembagian warisan
terutama yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an, seperti anjuran untuk
mempelajari hukum kewarisan:
تعلّموا
القرآن وعلّموه الناس وتعلموا الفرائض وعلّموها فإنى امرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك
أن يختلف اثنان فلا يجدان احدا يخبرهما (رواه احمد والترمذى والنسائى)
Hadis riwayat
Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, mengatur bahwa harta warisan pertama-tama diberikan
kepada ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan:
الحقوا
الفرائض باهلها فما بقي فهو لاولى رجل ذكر
Dalam al-hadis
juga diatur mengenai keadaan atau perbuatan yang menyebabkan seseorang tidak
berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya, yaitu pembunuh tidak bisa mendapat
warisan dari pewaris yang dibunuhnya:
ليس لقاتل ميراث (رواه ابن ماجة)
Dalam hadis riwayat Abu Dawud
dari Buraidah disebutkan bahwa nenek mendapat 1/6 bagian jika tidak ada
bersamanya ibu.
C. Asas-asas Hukum Kewarisan
Islam
Hukum
kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dan as-sunnah. Sebagai hukum
agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah, hukum kewarisan Islam
mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum
kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Dalam hal tertentu hukum kewarisan
Islam mempunyai corak tersendiri, berbeda dari hukum kewarisan yang lain.
Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum
kewarisan Islam. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam ialah:
1. Asas Ijbari.
Dalam hukum
Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah,
tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Cara
peralihan seperti ini disebut secara ijbari. Atas dasar ini, pewaris
tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian harta peninggalannya setelah
ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya harta yang ia miliki secara
otomatis akan berpindah kepada ahli warisnya dengan peralihan yang sudah
ditentukan. Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory),
yaitu melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari)
ini terlihat dari segi ahli waris yang berhak menerima harta warisan beserta
besarnya penerimaan yang diatur dalam ayat-ayat al-Qur'an yaitu surat an-Nisa'
ayat 11, 12 dan 176. Bentuk ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin
dari kata mafrudan, bagian yang telah ditentukan. Istilah ijbari
direfleksikan sebagai hukum yang mutlak (compulsory law).
2. Asas Bilateral.
Membicarakan
asas ini berarti berbicara tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan
para ahli waris. Asas bilateral untuk menyebut realitas sistem kewarisan tanpa
adanya clan -garis keturunan sepihak- sehingga dengan asas bilateral dalam
hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak
garis kerabat, dari ibunya maupun bapaknya, dan dari kerabat ibu maupun bapak.
Demikian juga ibu atau ayah dapat menerima warisan dari keturunannya yang
perempuan atau laki-laki. Asas ini dapat dilihat dalam surat an Nisa' ayat 7,
11, 12 dan 176. Ayat-ayat tersebut mengandung pengertian bahwa antara orang tua
dan anak, antara laki-laki dan perempuan mempunyai status yang sama dalam
kekeluargaan dan kewarisan (bandingkan dengan asas patrilineal dan matrilineal).
3. Asas Individual.
Asas ini
berarti bahwa harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan. Bahwa pemilikan harta warisan oleh ahli waris
bersifat individual, dan hak pemilikan bersifat otonom serta bagian yang
diterima langsung menjadi hak milik secara sempurna. Asas individual ini
terlihat jelas dari ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisa' yang mengatur bagian
masing-masing ahli waris. Setelah terbukanya kewarisan, harta warisan mesti
dibagi-bagi di antara para ahli waris sesuai dengan bagiannya (bandingkan dengan
asas kolektif dan mayorat).
4. Asas Keadilan Berimbang.
Asas ini
mengandung arti bahwa senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban,
antara hak warisan yang diterima seseorang dengan kewajiban yang harus
dilaksanakannya, sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak
tampil sebagai ahli waris dan bagian yang diterimanya berimbang dengan
perbedaan tanggung jawab. Oleh karena laki-laki tanggung jawabnya lebih besar
dari perempuan, maka hak yang diterimanya juga berbeda, laki-laki mendapat dua
kali lipat dari perempuan. Asas ini dapat ditarik dari surat an-Nisa' ayat 11
(bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan). Dalam surat
an-Nisa' ayat l2 ( bagian suami lebih besar dari isteri). Dalam surat an-Nisa'
ayat 176 (bagian saudara laki-laki lebih besar daripada saudari perempuan).
5. Asas Personalitas ke-Islaman
Asas ini
menentukan bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli
waris yang sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu apabila salah satunya
tidak beragama Islam, maka tidak ada hak saling mewarisi. Asas ini ditarik dari
hadis nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لايرث المسلم
الكافر ولا الكافر المسلم
6. Asas Kewarisan Akibat Kematian.
Asas ini
menyatakan bahwa perpindahan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya
terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Perpindahan harta dari pemilik sewaktu
masih hidup sekalipun kepada ahli warisnya, baik secara langsung atau
terlaksana setelah pewaris meninggal, menurut hukum Islam tidaklah disebut
pewarisan, tapi mungkin hibah atau jual beli atau lainnya. Asas kewarisan
akibat kematian dapat dikaji dari penggunaan kata warasa dalam surat an
Nisa' ayat 11, 12, 176. Pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta
berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Atas dasar ini
hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan akibat kematian semata (yang
dalam hukum BW disebut kewarisan ab intestato).
[Asas-asas ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Amir
Syarifuddin, "Hukum Kewarisan Islam" , hlm. 16 dst.]
D. Kondisi Hukum Kewarisan di
Indonesia
Sampai
saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai hukum kewarisan nasional yang berlaku
bagi semua bangsa Indonesia. Keadaan hukum kewarisan di Indonesia sangat
plural, karena dalam waktu yang bersamaan berlaku lebih dari satu aturan hukum.
Sampai saat ini ada 3 (tiga) aturan hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia,
yaitu: (1). Hukum Kewarisan Adat, yang berlaku bagi warga negara Indonesia
asli. Hukum kewarisan adat ini keadaannya sangat berbineka, antara satu daerah
dengan daerah yang lain terkadang ada perbedaan yang sangat jauh, (2) Hukum
Kewarisan BW yang berlaku bagi WNI keturunan Eropa dan Timur Asing (selain WNI
keturunan Timur Tengah yang pada umumnya tunduk pada hukum kewarisan Islam),
(3) Hukum Kewarisan Islam yang berlaku bagi orang Islam, baik orang Indonesia
asli ataupun keturunan. Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa kewarisan
yang diajukan kepadanya akan memberlakukan hukum kewarisan Islam. Pada awalnya
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa kewarisan selain mendasarkan kepada al-Qur’an dan al-hadis juga
menggunakan pendapat fuqaha yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh terutama kitab
fiqh yang beraliran Syafi’iyah. Setelah ditetapkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tenta ng Penyebar Luasan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) maka KHI
lebih banyak dijadikan pegangan oleh Pengadilan Agama.
II. Tahap-tahap
Pensyari'atan Hukum Kewarisan Islam.
Bangsa Arab
sebagai masyarakat yang pertama kalinya menerima ajaran Islam, bukanlah bangsa
yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka
mempunyai aturan berupa tradisi yang mereka warisi seara turun temurun dari
nenek moyangnya. Tradisi mereka, di samping ada yang baik sesuai dengan logika
yang sehat, banyak juga yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan
fitrah yang murni, termasuk dalam masalah pewarisan. Kondisi kewarisan pada
masyarakat Arab jahiliyah antara lain dapat dilihat dari sebab-sebab seseorang
mendapat warisan dari yang lainnya.
A. Sebab-sebab mewarisi pada
masyarakat jahiliyah
Adapun
sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lain, pada bangsa Arab di jaman
jahiliyah adalah dikarenakan satu dari tiga hal, yaitu:
1. النسب
والقرابة karena
mempunyai hubungan nasab/kekerabatan dengan pewaris,
2. الحلف
والمعاقدة karena ada ikatan sumpah setia dengan pewaris,
3. التبنى
karena sebagai anak angkat (baca:
Hasanain M. Makhluf, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, hlm. 4-6;
Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 12-14).
Namun dalam
semua sebab di atas dibatasi bahwa mereka yang berhak mendapat warisan hanyalah
"laki-laki yang sudah dewasa". Adapun wanita, sekalipun sudah dewasa
dan laki-laki yang belum dewasa, tidak berhak mendapat warisan. Penjelasan
ringkas dari ketiga sebab tersebut sebagai berikut:
1. Pewarisan karena ada hubungan nasab dengan pewaris.
Sekalipun
mereka mewarisi karena ada hubungan nasab, hubungan kekerabatan, atau hubungan
darah, antara ahli waris dengan pewaris, akan tetapi seperti dikemukakan di
atas ahli waris yang bisa menerima warisan karena hubungan darah ini terbatas
hanya orang laki-laki yang sudah dewasa saja. Hal demikian dikarenakan dalam
pandangan orang Arab jahiliyah orang yang berhak mendapat warisan itu hanyalah
orang yang sudah mampu naik kuda dan memanggul senjata untuk membela kehormatan
keluarga dan clan/qabilah dari serangan orang lain, dan orang yang mampu
mendapatkan harta rampasan perang dengan menyerobot harta-harta rnusuh. Hal
demikian tidak mungkin dilakukan oleh perempuan karena fisiknya lemah, begitu
pula anak-anak, sehingga karenanya mereka tidak layak mendapat warisan.
Bangsa Arab
jahiliyah adalah bangsa yang hidupnya berclan-clan dan tergolong bangsa yang
nomad, hidup tidak menetap, gemar mengembara dan berperang. Di samping usahanya
yang lain, kehidupan mereka pun sedikit banyaknya tergantung daripada hasil
jarahan dan rampasan perang dari clan-clan yang mereka kalahkan. Dengan
demikian ada ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang untuk
mempertahankan hidup dari serangan orang lain atau untuk mengalahkan kelompok
lain dan menjarah harta rampasan perang. Ketergantungan yang tinggi kepada
orang yang bisa berperang berarti ketergantungan kepada laki-laki yang sudah
dewasa, sekaligus menghilangkan peran dari perempuan dan orang-orang yang belum
dewasa. Menurut mereka logis kalau warisan hanya diberikan kepada laki-laki
yang sudah dewasa saja dan logis pula kalau perempuan serta laki-laki yang
belum dewasa tidak berhak mendapatkannya.
Pada masa jahiliyah, selain wanita tidak boleh mendapatkan warisan,
sebagian besar mereka bahkan beranggapan wanita (janda) sendiri merupakan
barang warisan (Ibnu Kasir, I: 465). Beberapa riwayat yang dinukil oleh Ibnu
Kasir dalam menerangkan asbab an-nuzul ayat 19 surat an-Nisa' merupakan
bukti bahwa wanita janda itu dapat diwarisi. Salah satu riwayat menyebutkan
bahwa jika ada seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri (janda),
maka janda tersebut dapat diwarisi oleh anaknya atau kerabatnya. Jika wanita
itu cantik akan dikawininya, tetapi apabila tidak disenanginya, maka wanita itu
ditahannya dan tidak boleh kawin dengan orang lain sampai dia meninggal dunia
atau mengembalikan mahar yang dulu ia terima. Pada masa Islam, tradisi ini
kemudian dibatalkan dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 19:
يايّها
الذين امنوا لايحلّ لكم أن ترثوا النّساء كرها ولا تعدلوهنّ لتذهبوا ببعض مآاتيتموهنّ
إلاّ أن يأتين بفاحشة مبيّنة (النساء: 19 )
Dalam pada itu
kebiasaan tidak memberi warisan kepada wanita, juga dapat diketahui dari
riwayat-riwayat yang merupakan asbab an-nuzul ayat-ayat mawaris.
Meskipun riwayat-riwayat itu agak berbeda dalam penyebutan orangnya, tetapi
hampir seluruh riwayat itu berkaitan dengan tidak diberikannya hak warisan
kepada perempuan. Salah satu riwayat tersebut bersumber dari sahabat Jabir,
menerangkan pengaduan janda dari Sa'ad bin Rabi' sebagai berikut (
Asy-Syaukani, Nail al Autar, VI: 171):
عن جابر
قال جاءت امرأة سعد بن الربيع الى رسول الله صلعم بابنتيها من سعد فقالت يا رسول الله
هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل ابوهما معك فى احد شهيدا, وإنّ عمهما أخذ مالهما فلم
يدع لهما مالا, ولا يُنْكحان إلاّ بمال, فقال يقضى الله فى ذلك, فنزلت آية الميراث,
فأرسل رسول الله صلعم الى عمهما فقال: أعط ابنتى سعد الثلثين وأمهما الثمن وما بقى
فهو لك (رواه الخمسة إلا النسائى)
Tindakan
saudara laki-lakinya Sa'ad bin Rabi' yang mengambil seluruh harta peninggalan
Sa'ad bin Rabi' dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak
perempuannya Sa'ad bin Rabi' adalah sebagai gambaran bahwa waktu itu perempuan
tidak berhak mendapat warisan.
Diriwayatkan
pula bahwa setelah diturunkannya ayat mawaris yang mengatur bagian ahli waris
wanita, masih ada orang yang antipati, karena apa yang ditetapkan Allah
bertentangan dengan kebiasaan mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari Ibn Abbas r.a. bahwa di antara orang-orang yang antipati itu ada
yang menghadap Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasul apakah kita akan memberikan
warisan kepada anak kecil yang tidak menghasilkan apa-apa?, apakah kita akan
memberikan seperdua bagian kepada anak perempuan dari harta yang ditinggalkan
ayahnya, padahal ia tidak bisa menunggang kuda dan berjuang di medan tempur?
2. Pewarisan karena ada ikatan
sumpah setia
Di kalangan
orang Arab jahiliyah, seseorang mendapat warisan selain karena mempunyai
hubungan darah dengan pewaris juga karena adanya janji setia. Sudah menjadi
tradisi di kalangan mereka, dua orang mengadakan sumpah setia untuk saling
tolong menolong, untuk sehidup semati. Apabila seseorang senang kepada yang
lainnya, maka dia berkata kepada yang disenanginya :
دمى دمك
وهدمى هدمك وترثنى وارثك وتطلب بى واطلب بك
"Darahku darahmu juga, tertumpahnya darahku berarti
tertumpahnya darahmu, engkau mewarisi dari aku dan aku pun mewarisi dari kamu,
engkau menuntut bela karena aku dan aku menuntut bela karena engkau".
Temannya kemudian menjawab
seperti itu juga (Abd Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 13)
Atau dengan ucapan lain yang
mereka ucapkan setelah mereka saling meletakan tangan, seperti:
عاقدنى
وعاهدنى على النصرة والمعاينة
"Bersumpah setialah dan berjanjilah padaku untuk saling
tolong menolong dan bantu membantu"- lalu pihak yang satunya menyetujuinya
(Fatchur Rachman, Ilmu Waris, 1994: 14)
Apabila yang
bersumpah setia itu (laki-laki yang sudah dewasa) ada yang meninggal maka
temannya yang hidup berhak mendapat warisan sebesar seperenam, dan sisanya
dibagi di antara ahli warisnya yang lain (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm.
15).
3. Pewarisan karena pengangkatan
anak
Mengadopsi anak
merupakan tradisi yang merata pada orang Arab jahiliyah. Dalam tradisi mereka,
anak yang diadopsi kemudian nasabnya dirubah, tidak lagi dinasabkan kepada
orang tua kandungnya tetapi dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sehingga
status anak angkat sama dengan anak kandung. Muhammad sendiri sebelum menjadi
rasul, telah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Harisah, setelah diadopsi
lalu dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Apabila orang tua angkatnya meninggal
dunia, anak angkat berhak mendapat warisan sebagaimana anak kandungnya dengan
ketentuan anak angkat tersebut harus
laki-laki dan sudah dewasa.
B. Sebab-sebab Mewarisi pada
Fase Hijrah.
Islam datang
untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia dalam segala aktifitasnya.
Seperti telah disebutkan, bahwa bangsa Arab yang pertama kalinya menerima
dakwah Islam, bukanlah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali.
Dalam beberapa hal mereka mempunyai tata aturan yang berupa adat kebiasaan atau
tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya. Tradisi mereka itu ada yang sesuai
dengan akal sehat, tapi ada juga yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah
yang murni. Oleh karena itu setelah Islam datang, tidak seluruh tradisi mereka
dibatalkan, tradisi yang baik tetap dipertahankan, sebagian tradisi itu
diperbaiki dan diluruskan, dan sebagiannya lagi dibatalkan karena tidak sesuai.
Dalam pembatalan tradisi yang tidak sesuai maupun dalam penetapan aturan yang
baru tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan secara bertahap. Demikian
halnya dalam penetapan hukum kewarisan.
Pada periode
Makkah, syari'at Islam belum mengatur tentang pewarisan. Oleh karena itu
sebab-sebab pewarisan karena tiga hal di atas tetap berjalan, belum ada
perubahan. Pada periode Makkah umat Islam jumlahnya masih sedikit dan dalam
keadaan lemah. Sampai akhirnya Allah memerintahkan Nabi dan umat Islam hijrah
dari Makah ke Madinah.
Orang-orang
Muhajirin yang datang ke Madinah dalam keadaan lemah, baik secara mental, fisik
maupun materi. Untuk itu orang-orang Ansar banyak memberikan bantuan kepada
Muhajirin, mulai dari tempat tinggal sampai kepada persoalan pekerjaan. Bahkan
orang-orang Ansar lebih mengutamakan saudaranya Muhajirin daripada dirinya dan
keluarganya (baca surat al-Hasyr ayat 9). Untuk memperkokoh persaudaraan
Muhajirin dan Ansar, maka Rasulullah mempersaudarakan secara khusus antara
orang-orang Ansar dan Muhajirin. Selanjutnya untuk mendukung suksesnya perintah
hijrah, maka persoalan waris mewaris pun pada periode Hijrah ini dikaitkan
dengan hijrah itu sendiri. Oleh karenanya sebab-sebab mewarisi karena tiga hal
di atas sedikit mengalami perubahan yaitu dibatasi dengan dua hal, yaitu:
l. Hijrah dari Makkah ke Madinah (الهجرة من مكة إلى المدينة)
2. Persaudaraan yang
diikat oleh Rasulullah antara Muhajirin dan Ansar
(المؤاخاة بين المهاجرين والانصار)
Yang dimaksud
dengan "hijrah dari Makkah ke Madinah" sebagai sebab mewarisi ialah
apabila orang Muhajirin ada yang meninggal dunia dalam perjalanan hijrah atau
pada waktu di Madinah, maka yang berhak mewarisinya hanyalah kerabatnya atau
anak angkatnya atau orang yang mengikat sumpah setia tetapi yang sama-sama
hijrah, sedangkan kerabatnya yang belum mau hijrah dan masih tinggal di Makkah
tidak berhak mendapat warisan, sekalipun sudah beriman. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam al-Qur' an surat al-Anfal ayat 72. Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah bahwa ... مالكم من وّلايتهم makna wilayah dalam ayat 72 surat
al-Anfal adalah pewarisan.
Adapun yang
dimaksud dengan "persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar yang diikat oleh
Nabi" sebagai sebab mendapat warisan ialah apabila orang Muhajirin
meninggal di
Madinah dan tidak ada seorang pun kerabatnya yang ikut hijrah, maka yang berhak
mewarisinya ialah orang Ansar yang telah dipersaudarakan secara khusus oleh
Nabi. Demikian halnya apabila ada orang Ansar yang meninggal dan tidak ada
seorang pun kerabatnya, maka yang berhak mewarisinya ialah Muhajirin yang telah
dipersaudarakan secara khusus oleh Nabi (Abd Rahim al-Kisyka, 1969: 15)
Setelah Makah
dapat dikuasai oleh kaum muslimin, maka hijrah dari Makkah ke Madinah tidak
lagi sebagai kewajiban. Nabi bersabda : لاهجرة
بعد الفتح (متفق عليه)
Oleh karena itu pewarisan karena
hijrah pun dibatalkan. Demikian juga pewarisan karena adanya ikatan khusus
persaudaraan Muhajirin dan Ansar juga dibatalkan dengan turunnya surat al-Ahzab
ayat 6 dan al-Anfal ayat 75 (Silahkan dibaca kedua ayat tsb.)
Setelah
keimanan orang-orang Islam semakin kuat maka yang dibatalkan bukan hanya
pewarisan karena hijrah dan persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar saja,
beberapa tradisi yang lain yang tidak sesuai juga dibatalkan. Kebiasaan mengangkat
anak yang merubah nasab anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat
dibatalkan dengan turunya surat al-Ahzab ayat 40, 4 dan 5 (Silahkan baca ayat
tsb.)
Pewarisan anak angkat sebagai
bagian dari pengangkatan anak dengan sendirinya juga batal.
Pewarisan
karena sumpah setia dibatalkan dengan turunnya surat al-Anfal ayat 75. Demikian
menurut pendapatnya jumhur. Akan tetapi menurut Hanafiyah, pewarisan karena
sumpah setia itu tidak dibatalkan, karena al-Qur'an sendiri memperbolehkan,
sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa' ayat 33: والذين
عقدت أيمانكم فأتوهم نصيبهم
Oleh karena itu sumpah setia
sebagai sebab mewarisi sampai sekarang tetap berlaku, hanya saja menurut
Hanafiyah penerimaan mereka diakhirkan yaitu kalau sudah tidak ada seorang pun
ahli warisnya karena hubungan kerabat, perkawinan, dan memerdekakan budak.
Setelah itu
ayat-ayat yang turun semakin mengisaratkan akan terjadinya perubahan dalam hal
pewarisan. Sebagai proses ke arah pensyari'atan hukum kewarisan, Allah
mengawalinya dengan perintah membuat wasiat. Bagi orang yang merasa akan
meninggal dunia, hendaknya ia membuat wasiat berkaitan dengan harta
peninggalannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat al-Baqarah ayat 180:
كتب عليكم
إذا حضر احكم الموت إن ترك خيرا الوصيّةُ للوالدين والاقربون بالمعروف حقّا على المتّقين
Pada fase ini Allah baru
memerintahkan untuk membuat wasiat tetapi belum menentukan secara rinci berapa
besarnya bagian wasiat untuk orang tua dan kerabat tersebut. Hanya saja garis
perubahan siapa yang berhak atas harta peninggalan seseorang melalui wasiat
tersebut sudah nampak. Dalam ayat di atas yang berhak mendapat wasiat itu tidak
hanya laki-laki yang sudah dewasa saja, akan tetapi perempuan pun berhak mendapatkannya.
Kata al-walidani mencakup ayah dan ibu, kata al-aqrabun juga
mencakup kerabat laki-laki dan perempuan. Perubahan ini semakin nampak dengan
turunnya surat an-Nisa' ayat 7 (Silahkan baca ayat tsb.)
C. Sebab-sebab Pewarisan
Menurut Islam
Pasca turunnya
perintah membuat wasiat bagi seseorang yang akan meninggal dunia, setelah
keimanan umat Islam siap menerima perubahan, barulah hukum kewarisan
disyari'atkan yaitu dengan turunnya ayat-ayat yang secara eksplisit mengatur
tentang pembagian warisan, mengatur tentang ahli waris dan bagiannya, yaitu
turunnya ayat: 11, 12, dan 176 surat an-Nisa'. Dalam pada itu Rasulullah lebih
lanjut mengatur yang tidak disebut dalam al-Qur'an dan persolan-persolan lain
yang berkaitan dengan pewarisan.
Dari
ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi tentang kewarisan, dapat diketahui bahwa
pada akhirnya menurut syari'at Islam sebab-sebab pewarisan itu ada empat (4),
yaitu:
1. Karena hubungan nasab atau kekerabatan (النسب والقرابة)atau karena hubungan darah (الرحيم)
2. Karena perkawinan (الزوجيّة)
3. Karena memerdekakan budak (الولاء)
4. Karena hubungan
agama/sama-sama beragama Islam (جهات الاسلام)
Dari
sebab-sebab pewarisan di atas ada yang meneruskan tradisi Arab jahiliyah,
karena hal itu sesuai dengan nalar yang sehat, yaitu sebab hubungan nasab atau
hubungan darah. Hanya saja yang semula bengkok karena membatasi kepada keluarga
yang berjenis kelamin laki-laki dan sudah dewasa, oleh Islam diluruskan menjadi
semua kerabat, laki-laki atau perempuan, dewasa atau pun belum sebagaimana
yang disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ada juga sebab
pewarisan yang baru, yaitu karena hubungan perkawinan dan hubungan memerdekakan
budak, serta hubungan seagama atau sama-sama muslim. Adapun tradisi jahiliyah
yang dibatalkan sebagaimana telah dikemukakan yaitu sebab memperoleh warisan
karena sebagai anak angkat, sedangkan ikatan sumpah setia, apakah dibatalkan
atau tidak, diperselisihkan oleh para ulama.
Sebab
mewarisi karena hubungan nasab atau hubungan darah, menurut Islam meliputi
unsur keturunan, unsur leluhur, dan unsur saudara. Dasar hukumnya yaitu surat
an-Nisa' ayat 7, 11, 12, dan 176.
Pernikahan
sebagai sebab mewarisi, artinya antara suami isteri berhak saling mewarisi.
Dasar hukumnya ialah surat an-Nisa' ayat 12. Berhaknya suami-isteri saling
mewarisi karena hubungan perkawinan, disyaratkan dua hal: (1). Perkawinannya
termasuk perkawinan yang sahih, yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya
sahnya perkawinan, (2). Perkawinan tersebut masih tegak ketika salah seorang
suami isteri meninggal dunia, baik secara hakiki atau secara hukmi. Secara
hakiki artinya belum terjadi perceraian ketika suami-isteri itu meninggal.
Adapun secara hukmi maksudnya bahwa ketika salah seorang suami isteri itu
meninggal dalam masa iddah talak raj'i, karena secara hukum, perkawinan yang
diputus dengan talak raj'i selama masa iddah belum putus sama sekali.
Memerdekakan
budak sebagai sebab memperoleh warisan ialah bahwa orang yang memerdekakan
budak berhak mewarisi dari budak yang telah dimerdekakannya, apabila budak yang
dimerdekakannya meninggaI dan ia tidak mempunyai ahli waris baik karena
hubungan nasab atau pun karena perkawinan, tetapi tidak sebaliknya, orang yang
dimerdekakan tidak berhk mewarisi dari orang yang memerdekakannya. Dasar
hukumnya hadis Nabi: الولاء
لمن اعتق (رواه البخارى ومسلم عن عائشة)
"Hak wala' itu bagi orang
yang telah memerdekakan"
الولاء
لحمة كلحمة النسب لايباع ولا يوهب (رواه ابن هبان والحاكم)
"Wala itu suatu kekerabatan seperti halnya kekerabatan
nasab, yang tidak bisa diperjual belikan dan tidak boleh dihibahkan" .
Seperti telah
disinggung di atas bahwa menurut Hanafiyah, janji setia itu merupakan salah
sebab menerima warisan, karena tidak dibatalkan, sekalipun penerimaannya
diakhirkan, yaitu ketika tidak ada seorangpun ahli waris karena hubungan nasab,
perkawinan maupun wala'. Oleh Hanafiyah janji setia itu dimasukan kepada sebab
mewarisi karena wala', maka Hanafiyah membagi wala' ini kepada dua, yaitu wala'ul
'ataqah ولاء العتاقة)) (karena memerdekakan
budak dan wala'ul muwalah ولاء
الموالاة) ) yaitu wala'
karena sumpah setia.
Adapun
hubungan sesama muslim sebagai sebab mewarisi yaitu ketika seseorang yang
beragama Islam meninggal dunia dan ia tidak mempunyai ahli waris seorang pun
karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, atau pun karena hubungan
wala' maka hartanya diwarisi oleh umat Islam, yang pada masa Nabi saw
realisasinya dimasukkan kepada Baitul Mal untuk dimanfaatkan untuk kemaslahatan
bersama. Dasar hukumnya bahwa sesama muslim berhak saling mewarisi ialah hadis
Nabi:
من ترك
مالا فلورثته وانا وارث من لاوارث له (رواه احمد, ابو داود والنسائى)
"Barangsiapa meninggalkan harta peninggalan maka bagi ahli
warisnya dan saya adalah ahli waris bagi yang tidak mempunyai ahli waris"
Kata-kata Nabi mengatakan
"ana" dalam hadis di atas, bukan dalam posisinya sebagai pribadi,
tetapi dalam posisinya sebagai pemimpin umat.
III.
UNSUR-UNSUR PEWARISAN
Untuk
terlaksananya pewarisan yaitu beralihnya harta orang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya yang masih hidup diperlukan adanya tiga -unsur pewarisan,
yaitu :
1. Pewaris (مورّث) yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
harta peninggalan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pewaris disyaratkan dia
harus sudah meninggal dunia (موت المورّث) baik secara hakiki maupun hukmi. Mati hakiki yaitu
berpisahnya nyawa dari raga, sedangkan mati secara hukmi yaitu seseorang
dinyatakan mati berdasarkan keputusan pengadilan, sedangkan orangnya ada
kemungkinan sudah mati atau mungkin masih hidup, seperti dalam kasus orang yang
mafqud.
2. Ahli waris وارث)), yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya
pewaris karena ia dengan pewaris ada hubungan kekerabatan atau ikatan
perkawinan. Ahli waris disyaratkan harus
dalam keadaan hidup (حياة الوارث)meskipun hanya sesaat ketika pewarisnya
meninggal dunla, balk hidup secara hakiki maupun secara hukmi
3. Harta warisan (موروث,
تركة)yaitu apa-apa yang
ditinggalkan pewaris, yang dalam al-Qur'an disebut dengan مَا
تَرَك. Harta warisan مَا تَرَك ini
bisa berujud (1) benda (اموال)
baik benda tetap maupun benda bergerak, (2). Hak-hak (حقوق) yang mengandung makna benda, seperti piutang, diyat,
dll. Adapun hak-hak kepribadian, seperti status, jabatan, hak menceraikan
isteri, meli'an isteri, dll. tidak dapat diwariskan.
Apabila salah
satu rukun di atas dengan syaratnya tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi
pewarisan, seperti ada yang mempunyai harta kekayaan cukup banyak, tetapi dia
belum meninggal dunia, maka hartanya belum bisa diwarisi, atau dia sudah
meninggal dunia, tetapi tidak mempunyai ahli waris seorang pun, maka pada
dasarnya tidak terjadi juga pewarisan.
IV. PENGHALANG UNTUK MEWARISI ( موانع الارث)
Sekalipun
sudah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pewarisan, akan tetapi adakalanya
seseorang ahli waris tidak mendapat warisan. Hal ini ada dua kemungkinan, perlama,
karena ada ahli waris lain yang lebih utama, sebagai contoh, ahli warisnya:
anak laki-laki dan saudari sekandung. Dalam kasus ini saudari sekandung tidak
mendapat warisan karena ada waris yang lebih utama yaitu anak laki-laki,
seandainya saja anak laki-laki tidak ada, saudari akan mendapat bagian. Ahli
waris yang tidak mendapat warisan karena ada ahli waris yang lain, disebut mahjub (محجوب) dan penyebabnya disebut al-hajbu (الحجب). Kcdua, karena ada penghalang untuk menerima warisan, seperti ahli waris
berbeda agama dengan pewaris, ahli waris membunuh pewarisnya. Ahli waris yang
tidak mendapat warisan karena pada dirinya ada penghalang menerima warisan
disebut mamnu' (ممنوع) atau mahrum (محروم)dan penghalangnya disebut hirman (حرمان). Selanjutnya akan
dibicarakan mengenai penghalang menerima warisan.
Penghalang
pewarisan yaitu "suatu sifat yang menyebabkan orang yang bersifat dengan sifat tersebut itu tidak
dapat menerima pusaka, padahal cukup sebab-sebabnya dan cukup pula
syarat-syaratnya (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm. 51). Dengan ungkapan lain,
penghalang kewarisan ialah "suatu sifat
atau tindakan yang menyebabkan
ahli waris yang bersifat dengan sifat tersebut atau melakukan tindakan tersebut
tidak dapat menerima warisan sekalipun memenuhi sebab-sebab dan syarat-syarat
mewarisi"
Menurut hukum
kewarisan Islam, penghalang menerima warisan ada tiga, yaitu: perbudakan,
berbeda agama, dan pembunuhan.
1.
Perbudakan (الرّقّ) yaitu bahwa budak tidak berhak menerima warisan dari
pewarisnya. Demikian juga budak tidak bisa diwarisi oleh keluarganya. Budak
tidak menerima warisan karena ia dipandang tidak cakap, tidak dapat mengurusi
harta, karena dia sendiri dinilai sebagai harta bagi tuannya. Seandainya dia
diberi warisan, maka yang akan menerima warisan tersebut bukan dia tetapi
tuannya, karena dia sendiri milik tuannya. Ketidak mampuan budak mengurusi
harta, disebutkan dalam firman Allah:
ضرب الله
مثلاً عبدا مملوكا لا يقدر على شيئ (النحل: 75)
Budak juga
tidak dapat diwarisi karena dia melarat, tidak memiliki apa-apa, dia sendiri
kepunyaan tuannya.
2. Berbeda agama
إختلاف
الدين) ) yang dimaksud yaitu bahwa bahwa agama
pewaris berbeda dengan agamanya ahli waris. Dalam hal ini salah satunya beragama Islam, sedang pihak
lainnya tidak beragama Islam. Ahli warts yang tidak beragama Islam tidak dapat
menerima warisan dari pewaris yang beragama Islam dan sebaliknya, ahli waris
yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang tidak
beragama Islam. Larangan pewarisan antara yang beragama Islam dengan yang tidak
beragama Islam ini diatur dalam hadis Nabi:
1- لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
(رواه البخارى)
2- لاَ يَتَوَارَثُ
أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى (رواه ابو داود)
Semua agama
di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab dengan non ahli
kitab. Oleh kaarena ahli aris yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha tidak bisa mewarisi dari orang
Islam, orang Islam dan sebaliknya. Dalam pada itu Muaz, Mu'awiyah, al-Hasan,
Ibnul Hanafiyah, Masruq berpendapat bahwa orang Islam berhak mewarisi dari
orang kafir, tetapi tidak sebaliknya. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada
hadis Nabi:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو
وَلا يُعْلَى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى)
Di antara
ketinggian Islam itu bahwa orang Islam berhak menerima warisan dari non muslim,
tetapi tidak sebaliknya.
Kapan
perbedaan agama itu diperhitungkan? Menurut jumhur ulama adalah sejak kematian
pewaris. Apabila pada waktu meninggalnya pewaris ada di antara ahli warisnya
yang tidak bergama Islam dan sebelum harta warisan dibagi dia masuk Islam,
tetap saja tidak berhak mendapat warisan. Jumhur ulama beralasan karena
penentuan waktu berpindahnya harta warisan kepada ahli waris adalah ketika
pewaris meninggal dunia. Sementara menurut Imam Ahmad dan Syi'ah penentuan
berbeda agama itu diperhitungkan bukan pada waktu kematian pewaris tetapi pada
waktu harta warisan akan dibagi. Oleh karena itu apabila pada waktu pewaris
meninggal dunia ada ahli waris yang berbeda agama kemudian sebelum harta
warisan dibagi-bagi dia masuk Islam, maka dia berhak mendapat warisan, karena
kriteria perbedaan agama sudah tidak ada lagi. Syi'ah beralasan karena sebelum
harta warisan betul-betul dibagi harta tersebut belum menjadi hak para ahli
waris.
3. Pembunuhan (القتل), yang dimaksud
yaitu ahli waris yang membunuh pewarisnya ia tidak berhak mewarisi harta
peninggalan pewaris yang dibunuhnya, tetapi tidak sebaliknya. Dasar hukum yang
melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang dibunuh adalah
sabda Nabi saw.
1- لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتُولِ
شَيْئًا (رواه الترمذى)
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ (رواه ابن ماجه)
Selain berdasarkan sabda Nabi di atas juga didasarkan
kepada qaidah fiqh yang berbunyi:
مَنْ
اِسْتَعْجَلاَ شَيْـئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa yang
menyegarakan sesuatu sebelum waktunya, dihukum dengan dilarang (tidak
diberikan) apa yang ingin disegerakannya"
Membunuh pewaris
berarti menyegerakan kematian si pewaris dengan maksud untuk segera mendapat
warisannya. Akan tetapi justru hukum melarang apa yang ingin disegerakannya
yaitu dengan tidak diberikan hak mendapat warisan kepadanya.
Sekalipun
pembunuhan disepakati sebagai penghalang menerima warisan, akan tetapi apakah
semua jeni's pembunuhan berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan,
ataukah hanya pebunuhan tertentu saja? Dalam hal ini para fuqaha berbeda
pendapat.
a. Menurut fuqaha
Hanafiyah
Fuqaha
Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari
menerima warisan adalah pembunuhan yang bersanksi qisas atau kafarah yang
kesemuanya ada empat macam, yaitu: pembunuhan sengaja (yang diancam dengan
hukuman qisas), pernbunuhan semi/mirip sengaja, pernbunuhan karena salah, dan
pernbunuhan yang dianggap salah (ketiganya dengan sanksi hukuman kafarah).
1. Pembunuhan sengaja (القتل العمد) yaitu pelaku sengaja membunuh dengan
menggunakan alat yang mematikan, seperti senjata apai, senjata tajam, atau
benda lain yang umumnya mematikan. Pembunuhan sengaja dihukum dengan hukuman
qisas, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 178
juncto surat an-Nisa ayat 93:
يايّها
الذين امنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى ... (البقرة:178)
ومن
يقتل مؤمنا متعمّدا فجزآءه جهنّم خالجا فيها ... (النساء: 93)
2. Pembunuhan semi sengaja (القتل
شبه العمد)yaitu pembunuhan
dengan menggunakan alat yang umumnya tidak mematikan, seperti ranting kecil, tetapi terjadi juga kematian.
3. Pembunuhan
karena silap/salah (القتل الخطأ) baik salah dalam perbuatan, seperti orang yang menebang pohon tetapi kapaknya lepas dan
mengenai orang sampai mati, atau salah dalam maksud, seperti orang menembak
suatu sasaran yang dikira binatang buruan dan kena secara tepat, akan tetapi
ternyata bukan binatang melainkan orang.
4. Pembunuhan
yang dianggap silap (القتل الجارى مجرى الخطأ)
seperti orang tidur di tempat yang tinggi kemudian
jatuh menimpa orang di bawahnya sampai mati.
Pembunuhan nomor 2, 3, dan 4 di
atas adalah membunuh dengan tidak sengaja, oleh karenanya dikenakan sanksi
kafarah, yaitu membebaskan budak atau kalau tidak dapat dilakukan maka berpuasa
dua bulan berturut-turut, seperti diatur dalam firman Allah surat an-Nisa' ayat
92.
Keempat macam
pembunuhan di atas semuanya berakibat si pelaku tidak dapat menerima warisan
dari pewaris yang menjadi korban. Adapun pembunuhan yang tidak berkibat terhalangnya
pelaku dari menerima warisan, menurut Hanafiyah ialah:
1) Pembunuhan tidak langsung (القتل بالتسبب) seperti seseorang menggali lobang untuk perangkap
binatang buas, ayahnya yang tidak mengetahui ada lobang, lewat di situ dan
terperosok ke dalam lobang sampai mati. Dalam contoh ini penyebab kematian yang
langsung adalah terperosok ke dalam lubang;
2) Pembunuhan karena hak (القتل بحق) seperti orang yang menjalankan hukuman had, eksekutor
hukuman mati. Pembunuhan di sini dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh
agama maupun aturan pemerintah;
3) Pembunuhan karena uzur (القتل بعذر)seperti orang yang membunuh untuk membela diri.
4) Pembunuhan oleh
orang yang belum dewasa atau akalnya tidak sehat/gila
(القتل من غير المكلف)
b. Menurut fuqaha
Malikiyah
Menurut
fuqaha Malikiyah pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari menerima
warisan adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan digerakan oleh rasa
permusuhan, dilakukan secara langsung atau tidak langsung
(القتل العمد
العدوان, سواء أكان بالمباشرة أم بالتسبب). Jadi yang dinilai oleh ulama Malikiyah
adalah ada atau tidak adanya niat membunuh. Apabila berniat membunuh, maka
pembunuhan itu dikategorikan pembunuhan sengaja, mengenai caranya tidaklah
menjadi persoalan, bisa dilakukan secara langsung, seperti dibacok, ditembak,
dipukul, atau dilakukan secara tidak langsung, seperti menyuruh orang lain
untuk membunuhnya, memberikan saksi palsu, sehingga karena kesaksian palsunya
itu seseorang dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu apabila unsur niat ini
tidak ada maka tidak termasuk pembunuhan sengaja dan tidak berakibat
terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti pembunuhan karena salah (القتل
الخطأ). Demikian
juga apabila pembunuhan itu bukan karena permusuhan seperti pembunuhan karena
hak, atau karena uzur (seperti membela diri), pelakunya belum dewasa atau
gila, tidak berakibat terhalangnya
pelaku dari menerima warisan.
c. Menurut fuqaha
Syafi'iyah
Fuqaha
Syafi'iyah berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan berakibat terhalangnya
pelaku dari merima warisan, apakah itu pembunuhan sengaja atau karena salah,
pembunuhan langsung atau tidak langsung, pembunuhan yang dilakukan oleh orang
dewasa ataupun oleh anak-anak, atau orang gila, pembunuhan kaarena hak atau
bukan. Termasuk juga terkena terhalang dari menerima warisan adalah: orang yang
memberikan kesaksian yang karena persaksiannya seseorang dihukum mati, hakim
yang memutuskannya, jaksa yang menuntutnya dan algojo yang mengeksekusinya.
d. Menurut fuqaha
Hanbaliah
Menurut
fuqaha Hanbaliah, pembunuhan yang mengakibatkan terhalangnya pelaku menerima
warisan dari pewaris yang dibunuhnya adalah pembunuhan bukan karena hak, yang
menyebabkan qisas atau diyat atau kafarah, seperti pembunuhan sengaja atau semi
sengaja, pembunuhan karena silaf, pembunuhan langsung atau tidak langsung,
pelakunya sudah dewasa atau belum, pelakunya berakal sehat atau tidak.Adapun
pembunuhan yang dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh agama maka tidak
berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti menjalankan qisas,
atau pembunuhan karena membela diri.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu, VIII: 254-266, Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras
al-Muqaran, hlm. 46 – 67)
Menurut
penelitian as-Syaikh Muhammad `Abdur Rahim al-Kisyka bahwa pendapat yang rajih
dan terpilih adalah pendapatnya ulama Malikiyah dan yang sejalan dengan
pendapatnya Malikiah.
V. HAK-HAK YANG BERKAITAN DENGAN HARTA
PENINGGALAN
المتعلقة
بالتركة) (الحقوق
Pewaris
selain meninggalkan ahli waris, adakalanya juga ketika hidupnya ia mempunyai
kewajiban kepada orang lain dan ketika ia meninggal kewajibannya itu belum
sempat diselesaikan, seperti ia mempunyai hutang yang belum dibayar, atau
mungkin ia meninggalkan wasiyat yang menyangkut harta peninggalannya. Sudah
barang tentu kewajiban pewaris kepada pihak lain itu harus dilaksanakan lebih
dahulu sebelum harta warisan dibagi di antara para ahli waris. Oleh karena ada
kemungkinan yang mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris itu banyak pihak,
sedangkan harta peninggalan pewaris tidak cukup untuk memenuhi semuanya, agar
dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan, seperti mendahulukan pihak
yang semestinya diakhirkan, maka hukum kewarisan Islam mengatur urut-urutan
pihak-pihak yang mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris.
Menurut hukum
kewarisan Islam, hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan pewaris
diurutkan dengan tertib sebagai berikut:
1. Hak-hak yang menyangkut kepentingan mayit sendiri yaitu untuk biaya
penyelenggaraan jenazah (تجهيز الميت وتكفينه)
2. Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur atau untuk
membayar hutang pewaris (قضاء الديون)
3. Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat atau
untuk memenuhi wasiatnya pewaris (تنفيذ
الوصية)
4. Haknya para ahli waris (حق الوراثة)
Pertama, harta peninggalan pewaris pertama-tama
dikeluarkan untuk memenuhi haknya pewaris, yaitu biaya penyelenggaraan jenazah
antara lain biaya memandikan, pembelian kain kafan, membawanya ke kubur dan
biaya penguburannya. Pengeluaran tajhiz mayit ini dilaksanakan menurut ukuran
yang wajar, tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu ngirit dan hanya untuk
yang dituntunkan oleh syara', hal-hal yang tidak diperintahkan oleh syara'
apabila dilaksanakan juga karena desakan tradisi tidak diambilkan dari tirkah,
sehingga tidak mengurangi haknya pihak lain, seperti haknya para kreditur
termasuk haknya ahli waris sendiri. Dari tirkah ini diambilkan juga untuk biaya
tajhiz orang yang nafkahnya pada waktu hidupnya menjadi tanggung jawab pewaris,
seperti anaknya atau isterinya yang juga meninggal sebelum harta warisan
dibagi-bagi.
Menurut
Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah apabila harta peninggalan pewaris itu
semuanya terkait langsung dengan hak orang lain, seperti harta peninggalannya
itu sebidang tanah dan rumah yang sedang digadaikan atau dijadikan agunan bank,
maka yang dipenuhi lebih dahulu adalah haknya pemegang gadai atau pemegang
agunan atau kreditur yang piutangnya terkait secara langsung dengan `ain/wujud
harta peninggalan, apabila tirkah pewaris tidak lagi tersisa maka biaya tajhiz
dibebankan kepada keluarganya, atau kepada baitul maI atau kepada orang-orang
Islam lainnya. Setelah dicukupi haknya orang yang mempunyai piutang yang
terkait langsung dengan harta peninggalan dan masih ada sisanya baru digunakan
untuk memenuhi biaya tajhiz. Tetapi menurut Hanbaliah biaya iajhiz ini harus
lebih didahulukan atas segala pengeluaran yang lain, termasuk atas haknya orang
yang piutangnya terkait langsung dengan `ain/wujud harta peninggalan, karena
biaya tajhiz ini sebagai ganti akan kebutuhan nafakah ketika ia hidup.
Kebutuhan untuk menutup aurat pada waktu masih hidup lebih didahulukan atas
membayar hutang sekalipun, demikian halnya dengan kebutuhan kain kafan setelah
dia meninggal harus lebih didahulukan atas segala pengeluaran yang lain.
Diqiyaskan kepada kebutuhan akan kain kafan adalah segala kebutuhan untuk
penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan.
Kedua, setelah dikeluarkan untuk biaya
penyelenggaraan jenazah dan pewaris mempunyai hutang, selanjutnya harta
peninggalan digunakan untuk membayar hutangnya pewaris atau untuk memenuhi
hak-haknya para kreditur. Apabila pewaris mempunyai beberapa macam hutang,
manakah hutang yang harus didahulukan? Dalam rnenjawab pertanyaan ini ada
beberapa pendapat di kalangan fuqaha mawaris. Sebelumnya perlu disistimatikan
lebih dahulu pembagian hutang tersebut.
دين
دين الله دين العباد/دين الأدمى
دين العينية دين المطلقة
Dilihat
kepada siapa hutang tersebut, ada dua macam hutang, yaitu hutang kepada Allah (دين الله)dan hutang kepada sesama (دين العباد/دين الأدمى). Hutang kepada sesama dibedakan lagi menjadi: pertama,
hutang yang terkait langsung dengan wujud atau `ain harta peninggalan (دين العينية) seperti hutang gadai. Kedua hutang secara
mutlak, hutang pada umumnya yaitu hutang yang tidak terkait langsung dengan
wujud harta peninggalan.
Dari
macam-macam utang di atas, menurut ulama Hanafiyah, hutang kepada Allah,
seperti zakat, kafarah, nazar, menjadi gugur pembayarannya dengan meninggalnya
pewaris kecuali kaiau diwasiatkan untuk membayarnya, karena hutang kepada Allah
termasuk ibadah yang pelaksanaannya memerlukan niat dan ini tidak mungkin
dilaksanakan oleh orang yang teiah mati. Dengan demikian tinggalah hutang
kepada sesama dan apabila hutang ini terdiri dari dainul `ainiyah dan dainul
mutlaqah, maka pembayaran dainul `ainiyah didahulukan, bahkan lebih
didahulukan dari tajhiz. Setelah pembayaran hutang `ainiyah dicukupi dan masih
ada sisanya barulah digunakan untuk biaya tajhiz, kemudian untuk membayar dainus
sihah dan terakhir dainul marad. Hutang kepada Allah apabila
diwasiatkan untuk rnembayarnya, maka statusnya tidak lagi sebagai hutang tetapi
masuk ke dalam kelompok wasiat dan apabila
ada wasiat lainnya, dalam penunaiannya dilaksanakan secara kumulatif
yang jumlah seluruhnmya maksimal sepertiga dari harta peninggalan setelah dikurangi
untuk tajhiz dan membayar hutang.
Menurut
Malikiyah, Syaf'iyah dan Hanbaliah, hutang kepada Allah tidak gugur dengan
meninggalnya seseorang, akan tetapi mereka berbeda pendapat, manakah yang
didahulukan antara pembayaran hutang kepada Allah dengan hutang kepada sesama.
Menurut Syafi' iyah hutang kepada Allah lebih didahulukan dari hutang kepada
sesama (selain dain `aniyah). Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw:
فَدَيْنُ
اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى (رواه ابو داود)
Setelah itu baru dikeluarkan
untuk tajhiz, kemudian membayar hutang mutlaqah dengan tidak membedakan antara
dainus sihah dan dainul marad, karena antara keduanya sejajar.
Ulama
Malikiah lebih mendahulukan pembayaran hutang kepada sesama dari pada hutang
kepada Allah, dengan alasan manusia sangat membutuhkan untuk dilunasi
piutangnya sedang Allah zat yang Maha Kaya. Dengan demikian urut-urutannya
adalah: dain `ainiyah, tajhiz, dainus sihah, dainul marad, baru dainullah.
Ulama
Hanbaliah rnenempatkan pada posisi yang sama antara membayar hutang kepada
Allah dengan hutang kepada sesama, dan keduanya baru ditunaikan setelah
dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, karena seperti telah
disebutkan Hanbaliah lebih mendahulukan tajhiz atas semua hutang-hutang.
Ketiga, setelah hutang
hutang pewaris dibayar dan pewaris ada
meninggalkan wasiat, dan harta peninggalannya masih ada, maka selanjutnya
dikeluarkan lagi untuk melaksanakan wasiatnya pewaris dengan batas maksimal
sepertiga dari harta yang tersisa. Bahwa wasiat itu maksimal sepertiga adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari Sa'ad
bin Abi Waqas. Oleh karena itu apabila wasiat tersebut lebih dari sepertiga
maka kelebihannya menjadi batal kecuali apabila semua ahli waris mengijinkan.
Hal ini dapat difahami, wasiat itu dibatasi sepertiga adalah dalam rangka
memperhatikan haknya para ahli waris. Oleh karena itu apabila ahli waris tidak
keberatan haknya dikurangi, maka kelebihannya dari sepertiga diperbolehkan.
Dalam pada
itu wasiat yang diperbolehkan adalah wasiat kepada selain ahli waris yang
berhak mendapat warisan. Apabila wasiat itu ditujukan kepada ahli waris dan ia
pun memperoleh bagian warisan, maka wasiat demikian tidak sah, kecuali apabila
diijinkan oleh para ahli waris yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadis
Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Abu Umamah:
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى
لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ...
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam surat al-Baqarah ayat 11 dan 12 penyebutan wasiat itu
didahulukan dari pembayan hutang(من بعد وصية يوصى بها او دين) tetapi dalam pelaksanaannya pembayaran hutang
justru lebih didahulukan dari penunaian wasiat. Hal ini didasarkan kepada
praktek Nabi yang lebih mendahulukan membayar hutang atas wasiat, sebagaimana
yang diriwayatkan dari Ali ra:
عَنْ عَلِيٍّ
أَنَّهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى
بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ (رواه الترمذى)
Hal ini dapat difahami karena
membayar hutang itu merupakan kewajiban, sedangkan wasiat itu perbuatan tabarru',
perbuatan suka rela untuk mencari kebaikan yang hukumnya sunah, sudah barang
tentu perbuatan wajib harus lebih didahulukan dari perbuatan sunah. Adapun
tujuan al-Qur'an mendahulukan penyebutan wasiat dari penyebutan hutang dan dihubungkan
dengan kata au (او) menurut para ulama lafaz أو dalam firman Allah surat an-Nisa' ayat 11 dan 12 bukan
untuk tartib, tetapi untuk tafsil (memerinci), seolah-alah Allah
mengatakan bahwa para ahli waris berhak atas bagiannya itu setelah ditunaikan
lebih dahulu salah satu dari hutang atau wasiat atau setelah ditunaikan
kedua-duanya. Dari sisi lain bahwa wasiat lebih didahulukan penyebutannya dari
hutang dalam firman Allah adalah untuk mengingatkan dan memberi perhatian
kepada para ahli waris bahwa menunaikan wasiat pewaris itu sama wajibnya dengan
membayar hutang pewaris. Hal ini karena. umumnya orang merasa berat untuk
melaksanakan wasiat bahkan sengaja dilupakan, mengingat wasiat ini bukan
perbuatan tegen prestasi tetapi semata-mata hanya mencari kebaikan, Iain halnya
dengan membayar hutang yang merupakan suatu imbalan jasa baik dari pihak yang
rnemberi piutang, sehingga sudah seharusnya hutang itu dibayar sebagai suatu
tegen prestasi.
Keempat, setelah ketiga pengeluaran di atas
dilaksanakan dan harta peninggalan pewaris masih tersisa, maka sisanya itulah
yang menjadi haknya para ahli waris.
VI. AHLI WARIS
Ahli waris
yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis tidaklah hanya satu macam dan
sederajat, tetapi ada beberapa macam dan berbeda derajatnya.
Dilihat dari
jenis kelaminnya ahli waris dibedakan kepada ahli waris laki-laki (الوارثون) dan ahli waris perempuan (الوارثات).
Ahli waris laki-laki (الوارثون)
1.
Anak laki-laki (ابن); 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dst ke bawah (ابن الابن وإن نزل) ; 3. Ayah
(اب); 4. Kakek/ayahnya
ayah dst ke atas
(جد/اب الاب
وانه
علا); 5. Saudara
laki-laki sekandung
(أخ الشقيق); 6. Saudara lk-lk seayah (أخ لأب); 7. Saudara laki-laki seibu (أخ لأم); 8. Anak lk-lk dari saudara
sekandung (إبن الأخ الشقيق); 9. Anak laki-laki dari saudara
seayah (إبن الأخ لأب) ; 10. Saudara lk-lk nya ayah
yang sekandung/Paman sekandung (عم الشقيق); 11. Saudara lk-lk
nya ayah yang seayah/Paman seayah (عم لأب); 12. Anak
lk-lk dari paman sekandung الشقيق) (إبن العم; 13. Anak laki-laki dari paman ayah seayah (إبن العم لأب); 14. Suami (الزوج)
Ahli waris Perempuan (الوارثات)
1. Anak Perempuan (بنت); 2. Cucu perempuan dari anak
laki-laki dst ke bawah
(بنت الابن
وإن نزلت) ; 3. Ibu (ام); 4. Nenek dari ibu atau ayah
ayah dst ke atas (nenek sahihah) (جدة الصحيحة/ام الام/ ام الاب وإن
علت); 5. Sdri prp sekandung (أخت الشقيقة); 6. Saudari perempuan
seayah (أخت لأب);
7. Saudari perempuan seibu (أخت لأم);
8. Bintu akh, atau bintu ukhti 9.Isteri (الزوجة)
Selain
dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat pengelompokkan lain yang lebih
prinsip. Oleh karena itu untuk mengetahui siapa di antara ahli waris yang
berhak menerima harta peninggalan ketika mereka lebih dari satu orang, maka
perlu diketahui lebih dahulu pengelom-pokkan ahli waris.
Terdapat
perbedaan di kalangan ulama dalam mengelompokkan ahli waris dan ini terkait
dengan pemahaman mereka terhadap nas-nas pewarisan. Paling tidak ada tiga
pendapat dalam mengelompokkan ahli waris, yaitu: menurut ulama Sunni, menurut
ulama Syi'i, dan menurut Hazairin.
A. Menurut ulama Sunni
Ulama Sunni dalam memahami ayat al-Qur'an dan hadis tentang kewarisan,
telah melahirkan ajaran kewarisan sunni. Pengelompokkan ahli waris yang sangat
prinsip dalam ajaran kewarisan sunni adalah pengelompokkan ahli waris kepada:
zawul furud/ashabul furud, `asabah, dan zawul arham.
1. Ahli waris zawul furud
((ذو الفروض atau
ashabul furud أصحاب الفروض)), yaitu ahli waris
yang bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis. Para ahli waris
kelompok ini sudah mempunyai bagian yang baku. Dalam al-Qur'an dan al-hadis
ada enam macam bagian yang sudah ditentukan atau furudul muqaddarah (فروض المقدّرة) bagi para ahli waris,yaitu: 2/3, 1/3, 1/2, 1/4,
1/6, dan 1/8. Adapun ahli waris yang
bagiannya sudah ditentukan ada 12 orang, terdiri dari 8 orang ahli waris
perempuan dan 4 orang ahli waris laki-laki. Mereka. itu ialah: anak perempuan (bintun),
cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (bintul ibni wa
in safala); ibu (ummun); bapak (abun), nenek (jaddah);
kakek (jaddun); saudari perempuan sekandung (ukhtusy-syaqiqah);
saudari perempuan sebapak (ukhtu li ab); saudari perempuan seibu (ukhtu
Ii um); saudara laki-laki seibu (akhun Ii um); suami (jauz),
dan isteri {jauzah}. Mereka ini harus didahulukan dalam menerima warisan
dari ahli waris yang lain selama tidak terhijab.
Bagian bagi
para ahi waris zawul furud/ashabut furud itu sebagai berikut:
a. Ahli waris
yang mendapat 2/3 bagian (الثلثان)ada empat orang, yaitu:
1). Dua orang
atau lebih anak perempuan dan tidak bersama anak laki-laki
2). Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki dan tidak
bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Dua orang
atau lebih saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Dua orang
atau lebih saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak.
(diatur dalam
surat an-nisa ayat 106)
b. Ahli waris yang mendapat ½ bagian ada lima orang, yaitu:
1). Seorang anak perempuan dan tidak bersama anak
laki-laki
2). Seorang cucu perempuan dari anak Iaki-laki dan tidak bersama cucu laki-laki
3). Seorang saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Seorang saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak
5). Suami apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)
c. Ah1i waris
yang mendapat l/3 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Ibu apabila
tidak ada ahli waris keturunan (anak atau cucu)
2). Dua orang atau lebih saudara/saudari seibu, baik laki-laki semua
atau perempuan semua atau laki-Iaki dan perempuan.
d. Ahli waris
yang mendapat 1/4 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Suami
apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
2). Isteri
apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)
e. Ahli waris
yang mendapat 1/6 bagian ada enam orang, yaitu:
1). Cucu perempuan apabila mewarisi dengan seorang anak perempuan dan
tidak bersama cucu laki-laki (perluasan dari anak, karena menurut sunni cucu
masuk juga kategori ibnu)
2). Ibu apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) an-nisa
ayat 11
3). Bapak apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) an-nisa
ayat 11
4). Kakek apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) dan
tidak ada bapak (perluasan dari ayah nenek juga seperti itu)
5). Saudari perempuan sebapak apabila mewarisi dengan seorang saudari
sekandung dan tidak bersama saudara laki-laki sebapak
6). Seorang saudara atau saudari seibu nisa ayat 11
f. Ahli waris
yang mendapat 1/8 bagian hanya seorang yaitu isteri apabila pewaris mempunyai
keturunan (anak atau cucu).
2.
Ahli waris `asabah, yaitu ahli waris yang bagiannya
belum ditentukan, mereka ini menerima sisa setelah diambil bagiannya ashabul
furud lebih dahulu, atau mengambil semua harta peninggalan apabila tidak ada
ahli waris selainnya, atau ada ahli waris yang lain tetapi mahjub.
Dasar hukum
ahli waris `asabah ialah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا
الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Selanjutnya
ulama sunni membagi ahli waris `asabah kepada tiga macam, yaitu:
a. `Asabah binafsi (عصبة بالنفس) yaitu
ahli waris menjadi `asabah karena dirinya sendiri. Mereka ini semuanya laki-laki
yaitu semua kerabat pewaris yang antara dirinya dengan pewaris tidak
dihubungkan oleh perempuan. Mereka ini ialah: anak laki-laki (ibnun),
cucu laki-laki dari anak Iaki-laki dan seterusnya ke bawah (ibnul ibni wa in
nazala), bapak (abun), kakek (jaddun), saudara laki-laki
sekandung (akhun syaqiq), saudara laki-laki sebapak (akhun li ab),
anak laki-laki dari sudara laki-iaki sekandung (ibnu akh syaqiq), anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ibn akh li ab), paman
sekandung (`ammun syaqiq), paman sebapak (`ammun li ab), anak
laki-laki paman sekandung (ibn `amm syaqiq), anak laki-laki paman
sebapak (ibn `amm li ab).
b. `Asabah bil gair (عصبة مع الغير) yaitu ahli waris perempuan (yang semula ashabul furud)
menjadi `asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang menjadi `asabah.
Antara yang ditarik menjadi `asabah dengan yang menarik menjadi `asabah (mu'asib)
adalah sederajat. Mereka ini ialah:
1). anak
perempuan bersama anak laki-laki
2). Cucu
perempuan bersama cucu laki-laki
3). Saudari perempuan
sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4). Saudari
perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.
Selain harus
sederajat, ciri yang lain dari `asabah bil gaer adalah bagian yang
laki-laki dua kali lipat dari yang perempuan atau dua berbanding satu (lizzakari
mislu haddil unsayain) Dasar hukum dari `asabah bil gaer adalah firman
Allah:
يوصيكم
الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين (النساء: 11)
Dalam ayat
ini Allah menjelaskan bahwa apabila anak laki-laki mewarisi bersama anak
perempuan, maka bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan. Karena anak laki-laki menerima bagian sisa maka hal ini menunjukkan
bahwa anak perempuan apabila bersama anak laki-laki juga menerima sisa
(`asabah).
Baca juga
ayat 176 surat an-Nisa sebagai dasar hukum `asabah bagi saudari ketika mewarisi
bersama saudara.
c. `Asabah ma'al gaer (عصبة مع الغير) yaitu
ahli waris perempuan yang dijadikan `asabah oleh orang lain, ahli waris yang
menjadikannya sebagai `asabah, bukan `asabah tetapi ahli waris perempuan juga
(zawul furud). Ahli waris `asabah jenis ini terbatas hanya saudari sekandung atau
saudari sebapak yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, yang
menjadi `asabah ialah saudari sekandung atau sebapak dan yang menjadikan ia
sebagai `asabah ialah anak perempuan atau cucu perempuan. Dalam hal ini anak
peremuan atau cucu perempuan menerima bagiannya sebagai ashabul furud sedangkan
saudari menerima sisanya. Dasar hukum dari `asabah ma'al gaer ialah hadis dari
Ibnu Mas'ud yang menjelaskan pembagian harta warisan yang ahli warisnya itu
anak perempuan, cucu perempuan dan saudari perempuan:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنِ الْهُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلٍ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي مُوسَى وَسُلَيْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ فَسَأَلَهُمَا
عَنْ ابْنَةٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ لِأَبٍ فَقَالَا لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ
النِّصْفُ وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ سَيُتَابِعُنَا قَالَ فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ
فَسَأَلَهُ وَأَخْبَرَهُ بِمَا قَالَا فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا
وَمَا أَنَا مِنْ الْمُهْتَدِينَ سَأَقْضِي بِمَا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلِابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ
الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ
Dalam hadis di atas
disebutkan bahwa bagi satu anak perempuan mendapat setengah, bagi cucu
perempuan dari anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua
pertiga, dan sisanya untuk saudari perempuan. Oleh karena saudari diberikan
bagian sisa, berarti saudari ketika mewarisi dengan anak perempuan atau cucu
perempuan berstatus sebagai 'asabah.
3. Ahli waris zawul arham (ذو الارخام) yaitu
karib kerabat pewaris atau orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pewaris
yang tidak terrnasuk ashabul furud atau pun `asabah. Di kalangan ulama sunni
sendiri diperselisihkan apakah zawul arham berhak mewarisi atau tidak, bagi
yang berpendapat bisa mewarisi tetapi mereka sepakat bahwa zawul arham baru
menerima warisan setelah tidak ada seorang pun ahli waris dari ashabul furud
atau `asabah, selain suami atau isteri (zawul arham bisa mewarisi dengan suami
atau isteri).
Adapun ahli
waris zawul arham antara lain:
- Keturunan
dari anak perempuan
- Keturunan
dari cucu perempuan pancar laki-laki
- Ayahnya ibu
(kakek dari pihak ibu)
- Keturunan
dari semua saudari
- Keturunan
dari saudara seibu
- Keturunan
yang perempuan dari saudara sekandung dan sebapak
- Paman seibu
- Keturunan
yang perempuan dari paman
- Bibi
(saudari perempuannya ayah)
- Semua
saudara/saudari ibu (khal dan khalah)
B. Menurut ulama Syi'ah
Ulama Syi'ah membagi ahli waris kepada dua kelompok, yaitu Zawul
Fara'id atau Zawul Furud dan Zawul Qarabat. Syi'ah menolak
adanya ahli waris `asabah yang dikemukakan oleh ulama sunni, dengan alasan
karena hadis yang rnenjadi landasannya da'if.
Pengertian ahli waris Zawul Fara'id menurut Syi'ah, sama seperti yang
dikemukakan sunni, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu. Adapun ahli
waris Zawul Qarabat adalah ahli waris selain zawul fara'id dengan tidak
membedakan dari garis laki-laki atau perempuan. Selanjutnya Syi'ah membagi ahli
waris baik dari zawul furud maupun zawul qarabat dalam tiga martabat
atau garis keutamaan, yaitu:
Martabat
pertama : ibu, bapak, dan anak-anak
terus ke bawah
Martabat kedua : saudara laki-laki dan saudari perempuan terus ke bawah
(keturunannya), kakek dan nenek baik
dari garis ibu atau pun dari garis ayah terus ke atas (orang tuanya kakek dan
nenek)
Martabat ketiga : paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
serta anak-anak mereka.
Setiap ahli waris dalam martabat pertama, siapa pun ia dapat menutup
semua ahli waris martabat kedua dan ketiga, demikian juga ahli waris martabat
kedua dapat menutup semua ahli waris martabat ketiga. Dengan demikian ahli
waris martabat kedua baru dapat mewarisi apabila sudah tidak ada ahli waris
martabat pertama, dan ahli waris martabat ketiga baru dapat mewarisi apabila
ahli waris mertabat pertama dan kedua tidak ada. Dalam setip martabat, ahli
aris yang lebih dekat kepada pearis baik laki-laki ataupun perempuan dapat
menutup/menghijab ahli waris yang lebih jauh. Sebagai contoh: Ahli warisnya:
ibu, anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Mereka ini semuanya
ahli waris martabat pertama, tetapi yang berhak mendapat warisan hanya ibu dan
anak perempuan, sedangkan cucu laki-laki mahjub oleh anak perempuan, karena
anak lebih dekat dari pada cucu. Demikian juga
dalam martabat kedua, selagi ada saudara/saudari, maka anaknya
saudara/saudari mahjub oleh saudara/saudari.
C. Menurut Hazairin
Hazairin membagi ahli waris ke dalam tiga kelompok, yaitu Zawul
Fara'id, Zawul Qarabat, dan
Mawali.
Mengenai ahli waris zawul fara'id, tidak berbeda dengan pendapatnya
Sunni maupun Syi'i, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu dan dalam
keadaan tertentu.
Ahli waris zawul qarabat, yaitu ahli waris yang tidak termasuk zawul
furud, atau ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya, atau
memperoleh bagian sisa.
Ahli waris mawali ialah ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang
menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan
diperoleh orang yang digantikan, karena orang yang digantikan itu telah
meninggal lebih dahulu sebelum pewaris meninggal. Adapun yang menjadi mawali
yaitu: keturunan anak pewaris (cucu dan seterusnya ke bawah); keturunan saudara
pewaris, keturunan paman pewaris, keturunan orang yang mengadakan perjanjian
mewaris.
Mawali dalam konsep Hazairin sama dengan ahli waris pengganti dalam
hukum perdata Barat (BW) dan hukum adat.
Dari tiga kelompok ahli waris di atas, Hazairin lebih lanjut membagi
para ahli waris berdasar kelompok keutamaannya ke dalam empat (4) kelompok.
Selama kelompok keutamaan pertama ada maka kelompok keutamaan kedua, ketiga,
dan keempat tidak berhak mendapat warisan. Dengan demikian kelampok keutamaan
kedua baru berhak mendapat warisan apabila kelampok keutamaan pertama sudah
tidak ada, demikian seterusnya. Empat kelompok keutamaan tersebut yaitu:
Keutamaan
pertama:
1. Anak-anak: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu
al-furud atau sebagai zawu al-qarabat, beserta mawali bagi mendiang anak
laki-laki dan perempuan.
2. Orang tua
(ayah dan ibu) sebagai zawu al-faraid
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid.
Keutamaan
kedua:
1. Saudara:
laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-faraid maupun sebagai zawu al-qarabat,
beserta mawali bagi mendiang saudara/saudari
2. Ibu sebagai
zawu al-faraid
3. Ayah
sebagai zawu al-qarabat
4. Janda atau
duda sebagai zawu al-faraid
Keutamaan
ketiga:
1. Ibu
sebagai zawu al-faraid
2. Ayah
sebagai zawu al-qarabat
3. Janda atau
duda sebagai zawu al-faraid
Keutamaan
keempat:
1. Janda atau
duda sebagai zawu al-faraid
2. Mawali
untuk ibu
3. Mawali
untuk ayah
Cara Menghitung
0leh karena
bagian para ahli waris itu berupa angka pecahan maka untuk menghitung berapa
penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan, ulama mawaris membuat cara penghitungannya dengan memakai
sistim Asal Masalah (اصل المسألة) atau KPT yaitu dengan mencari dahulu angka yang
terkecil yang dapat dibagi habis oleh semua pecahan yang merupakan bagian para
ahli waris. Sebagai contoh apabila ahli warisnya: seorang anak perempuan yang
bagiannya 1/2, ibu bagiannya 1/6, isteri bagiannya 1/8, dan saudara sekandung
yang bagiannya `asabah, maka Asal Masalahnya adalah 24, karena angka 24 adalah
angka yang terkecil yang dapat dibagi habis oleh 1/2, 1/6 dan 1/8. Setelah
diketahui berapa asal masalahnya selanjutnya dicari berapa penerimaan
masing-masing ahli waris dari asal masalah, dengan cara mengkalikan pecahan
yang merupakan bagian ahli waris kepada asal masalah. Setelah itu kemudian
dihitung berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan
dengan cara mengkalikan bagian ahli waris dari asal masalah kepada jumlah harta
peninggalan kemudian dibagi oleh asaI masalah. Atau bisa juga dicari dahulu
nilai 1 bagian dari harta peninggalan, dengan cara harta peninggalan dibagi oleh
asal masalah, maka ketemulah nilai 1 bagian.
Contoh cara menghitung
Ahli Waris
|
Bagian-nya
|
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
|
Dari Harta Peninggalan
$ 480.000
penerimaannya
|
1. Seorang Anak
prp
|
1/2
|
1/2 x 24 = 12
|
12 x $480.000 :
24= $240.000
|
2. Ibu
|
1/6
|
1/6 x 24 = 4
|
4 x $480.000 : 24= $ 80.000
|
3. Isteri
|
1/8
|
1/8 x 24 = 3
|
3 x $480.000 : 24= $ 60.000
|
4. Seorang sdr. Skdg
|
'asabah
|
24 – 19 = 5 +
|
5 x $480.000 : 24= $100.000 +
|
24
|
$480.000
|
Penyelesaian di atas menurut
Sunni
Perhitungan di
atas bisa juga diselesaikan dengan cara mencari dahulu nilai 1 bagian, maka
penyelesaiannnya sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagiannya
|
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
|
Dari Harta Peninggalan
$ 480.000
penerimaannya
|
Nilai 1
bagian = $480.000 : 24 = $ 20.000
|
|||
1. Seorang Anak
prp
|
1/2
|
1/2 x 24 = 12
|
12 x $20.000 = $240.000
|
2. Ibu
|
1/6
|
1/6 x 24 = 4
|
4 x $20.000 = $ 80.000
|
3. Isteri
|
1/8
|
1/8 x 24 = 3
|
3 x $20.000 = $ 60.000
|
4.Seorang sdr. skdg
|
'asabah
|
24 – 19 = 5 +
|
5 x $20.000 = $100.000 +
|
24
|
$480.000
|
Contoh penyelesaian menurut
Sunni, Syi'i, dan Hazairin
Ahli warisnya: Seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, paman sekandung.
Harta peninggalannya senilai Rp. 90.000.000,-
Menurut Sunni:
Ahli Waris
|
Bagian-nya
|
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
|
Dari Harta Peninggalan
Rp.
90.000.000 penerimaannya
|
1. Seorang Anak
prp
|
1/2
|
1/2 x 6 = 3
|
3 x Rp. 90.000.000
: 6= 45.000.000
|
2. Seorang cucu prp dari anak lk-lk
|
1/6
|
1/6 x 6 = 1
|
1 x Rp. 90.000.000
: 6= 15.000.000
|
3. Ibu
|
1/6
|
1/6 x 6 = 1
|
1 x Rp. 90.000.000
: 6= 15.000.000
|
4. Seorang Paman sekandung
|
'asabah
|
6 – 5 = 1 +
|
1 x Rp. 90.000.000
: 6= 15.000.000
+
|
6
|
Rp. 90.000.000
|
Menurut Syi'ah
Ahli Waris
|
Bagian-nya
|
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
|
Dari Harta Peninggalan
Rp. 90.000.000 penerimaannya
|
1.Seorang Anak
prp
|
1/2
|
1/2 x 6 = 3
|
3 x Rp. 90.000.000
: 4= 67.500.000
|
2.Seorang cucu prp dari anak lk-lk
|
Mahjub
|
-
|
-
|
3. Ibu
|
1/6
|
1/6 x 6 = 1
|
1 x Rp.
60.000.000 : 4= 22.500.000 +
|
4. Seorang Paman sekandung
|
Mahjub
|
-
|
|
4
|
Rp. 90.000.000
|
Perhitungan di atas disebut radd,
mengembalikan sisa kepada ahli waris yang berhak menerima radd. Oleh karena
anak prp dn ibu berhak menerima radd, maka asal masalah semula 6 diturunkan
menjadi 4.
Menurut Hazairin
Ahli Waris
|
Bagian-nya
|
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
|
Dari Harta Peninggalan
Rp.
90.000.000 penerimaannya
|
1. Seorang Anak
prp
|
Zawul qarabah
(menda-pat sisa)
|
1 bagian dari sisa
|
1 x Rp. 75.000.000
: 3= 25.000.000
|
2. Seorang cucu prp dari anak laki-laki
|
2 bagian dari sisa
|
2 x Rp. 75.000.000
: 3= 50.000.000
|
|
3. Ibu
|
1/6
|
1/6 x 6 = 1
|
1 x Rp. 90.000.000
: 6= 15.000.000
|
4. Seorang Paman sekandung
|
mahjub
|
-
|
|
1
|
Rp. 90.000.000
|
Penjelasan:
-
Cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai mawali dari
anak laki-laki (ayahnya), ia mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang
digantikannya (anak laki-laki). Dengan demikian anak perempuan dan anak
laki-laki sebagai zawul qarabah menerima sisa setelah diambil bagiannya ibu 1
bagian (Rp. 15.000.000), kemudian diabagi antara anak laki-laki dan anak
perempuan dengan pembagian untuk 1 anak
laki-laki 2 bagian, dan untuk 1 anak perempuan 1 bagian.
-
Ibu sebagai
ahli waris dari kelompok keutamaan pertama sebagai zawul furud mendapat 1/6
bagian
-
Paman mahjub karena ia dari kelompok keutamaan keempat
sebagai mawali bagi ayah.
Beberapa istilah yang perlu
diketahui:
- Kasrun (كـثر) adalah bilangan pecahan, seperti
2/3, 1/3, 1/6, 1/8 dll.
- Bastun (بسط) pembilang, yaitu angka yang atas dalam satu
bilangan pecahan, angka 2 dalam pecahan 2/3
- Maqam (مقام) penyebut, yaitu angka yang bawah dalam satu
bilangan pecahan, angka 3 dalam pecahan 2/3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar