Senin, 05 Maret 2012

MAWARIS



FIQH MAWARIS  

I. Pengantar

A. Pengertian
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.
Kataمواريث  adalah jama' dari   ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari  ورث – يرث- ارثا - وميراثا . Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:  al-baqa'  (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال)  "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris. [Muhammad 'Ali as-Sabuny, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab wa as-Sunnah, 1989, hlm. 33-34, Muhammad Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, 1969, hlm. 7, Wahbah az- Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy w a Adillathu, 1989, VIII: 243].
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
Adapun kata fara'id  (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah (المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al- fara’id atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث. Buku-buku yang khusus membahas kewarisan banyak yang menggunakan nama mawaris atau miras, seperti buku yang ditulis oleh Hasanain Muhammad Makhluf dengan nama: المواريث فى الشريعة الاسلامية ; Muhammad Yusuf Musa: التركة والميراث فى الاسلام ; Muhammad Abu Zahrah:احكام التركات والمواريث  ; Hilal Yusuf Ibrahim : احكام الميراث للمسلمين وغير المسلمين  , dll.
Secara terminologi terdapat beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai pengertian ilmu mawaris atau ilmu fara'id. Banyak para ulama yang membuat rumusan bahwa ilmu mawaris atau ilmu fara'id merupakan gabungan antara ilmu fiqh dan ilmu hitung, sehingga dengan gabungan kedua ilmu ini dapat diketahui siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan seseorang dan berapa penerimaannya. Beberapa rumusan tersebut di antaranya:
Menurut as-Syaikh Muhammad al-Khatib al-Syarbini:
الفقه المتعلق بالارث ومعرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك ومعرفة  قدر الواجب من التركة لكل ذى حقّ (مغنى المحتاج, 3:3 )
"Ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta warisan bagi semua pihak yang mempunyai hak".
Menurut Wahbah az-Zuhaily:
قواعد فقهية وحسابية يعرف بها نصيب كل وارث من التركة (الفقه الاسلامى وادلته, 8: 243 )
"Kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".
Prof. Hasbi dalam bukunya Fiqhul  Mawaris, hlm. 18 mendefiniskan:
قواعد من الفقه والحساب يعرف بها ما يخصّ كلّ ذى حقّ فى التركة ونصيب كلّ وارث منها

Dari rumusan di atas dapat dibuat rumusan Fiqh Mawaris/Hukum Kewarisan, yaitu: "Aturan hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan tersebut, siapa saja ahli waris dan berapa bagiannya".
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa menurut hukum Islam, kewarisan baru terbuka setelah pewaris meninggal dunia.
Berbeda halnya dengan pengertian kewarisan menurut hukum adat, karena menurut hukum adat, kewarisan itu proses penerusan harta benda dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya. Hal ini seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. R. Soepomo, SH. dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat, hlm. 81-82, sebagai berikut:
"Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari satu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi "akuut" oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi  secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus, hingga angkatan (generatie) baru, yang dibentuk dengan mencar atau mentasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarga baru, mempunyai dasar kehidupan materieele sendiri dengan barang-barang dari harta peningalan orang tuanya sebagai fondamen".
Dari rumusan kewarisan menurut hukum adat di atas, dapat diketahui bahwa pewarisan itu (1). suatu proses meneruskan serta mengoperkan harta benda keluarga, oleh karena proses maka pewarisan sudah dimulai ketika orang tua masih hidup. (2). Dari satu generasi (orang tua) kepada turunannya, oleh karena itu ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak turunnya pewaris, (3) Peralihan harta Pewarisan tidak menjadi akuut dengan   meninggalnya salah satu orang tua, artinya ketika orang tua meninggal dunia harta bendanya tidak harus segera dibagi.

B. Dasar Hukum Kewarisan
Dasar hukum yang mengatur pembagian warisan dalam Islam adalah al-Qur'an dan al-hadis. Kedua sumber hukum ini kemudian diperkaya dengan ijtihad para ulama.


1. Al-Qur'an:
Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam yang pertama telah menjelaskan hukum kewarisan secara cukup jelas. Menurut para ulama, tidak ada dalam syari'at Islam hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-Qur'an sebagaimana hukum­-hukum kewarisan. Di dalam al-Qur'an aturan kewarisan sebagian besarnya diatur dalam surat an-Nisa', yaitu  ayat  11, 12,  176, yang menerangkan para ahli waris dan  bagiannya. Sebenarnya dalam surat an-Nisa' ayat 1, 7, 8. 9, 10, 13, 14, 33 mempunyai konteks dengan kewarisan [intisari dari ayat-ayat ini, baca bukunya Ahmad Azhar Basyir : "Hukum Waris Islam", hlm. 8-9].

2. Al-Hadis
Meskipun al-Qur'an sudah menerangkan secara cukup rinci tentang ahli waris dan bagiannya, hadis juga menerangkan beberapa hal tentang pembagian warisan terutama yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an, seperti anjuran untuk mempelajari hukum kewarisan:
تعلّموا القرآن وعلّموه الناس وتعلموا الفرائض وعلّموها فإنى امرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك أن يختلف اثنان فلا يجدان احدا يخبرهما (رواه احمد والترمذى والنسائى)
Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, mengatur  bahwa harta warisan pertama-tama diberikan kepada ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan:
الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فهو لاولى رجل ذكر
Dalam al-hadis juga diatur mengenai keadaan atau perbuatan yang menyebabkan seseorang tidak berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya, yaitu pembunuh tidak bisa mendapat warisan dari pewaris yang dibunuhnya:
ليس لقاتل ميراث (رواه ابن ماجة)
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Buraidah disebutkan bahwa nenek mendapat 1/6 bagian jika tidak ada bersamanya ibu.

C. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dan as-sunnah. Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Dalam hal tertentu hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri, berbeda dari hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam ialah:

1. Asas Ijbari.
Dalam hukum Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah, tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari. Atas dasar ini, pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya harta yang ia miliki secara otomatis akan berpindah kepada ahli warisnya dengan peralihan yang sudah ditentukan. Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari) ini terlihat dari segi ahli waris yang berhak menerima harta warisan beserta besarnya penerimaan yang diatur dalam ayat-ayat al-Qur'an yaitu surat an-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Bentuk ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin dari kata mafrudan, bagian yang telah ditentukan. Istilah ijbari direfleksikan sebagai hukum yang mutlak (compulsory law).

2. Asas Bilateral.
Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan para ahli waris. Asas bilateral untuk menyebut realitas sistem kewarisan tanpa adanya clan -garis keturunan sepihak- sehingga dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, dari ibunya maupun bapaknya, dan dari kerabat ibu maupun bapak. Demikian juga ibu atau ayah dapat menerima warisan dari keturunannya yang perempuan atau laki-laki. Asas ini dapat dilihat dalam surat an Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat tersebut mengandung pengertian bahwa antara orang tua dan anak, antara laki-laki dan perempuan mempunyai status yang sama dalam kekeluargaan dan kewarisan (bandingkan dengan asas patrilineal dan matrilineal).

3. Asas Individual.
Asas ini berarti bahwa harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Bahwa pemilikan harta warisan oleh ahli waris bersifat individual, dan hak pemilikan bersifat otonom serta bagian yang diterima langsung menjadi hak milik secara sempurna. Asas individual ini terlihat jelas dari ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisa' yang mengatur bagian masing-masing ahli waris. Setelah terbukanya kewarisan, harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris sesuai dengan bagiannya (bandingkan dengan asas kolektif dan mayorat).

4. Asas Keadilan Berimbang.
Asas ini mengandung arti bahwa senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak warisan yang diterima seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya, sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris dan bagian yang diterimanya berimbang dengan perbedaan tanggung jawab. Oleh karena laki-laki tanggung jawabnya lebih besar dari perempuan, maka hak yang diterimanya juga berbeda, laki-laki mendapat dua kali lipat dari perempuan. Asas ini dapat ditarik dari surat an-Nisa' ayat 11 (bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan). Dalam surat an-Nisa' ayat l2 ( bagian suami lebih besar dari isteri). Dalam surat an-Nisa' ayat 176 (bagian saudara laki-laki lebih besar daripada saudari perempuan).

5. Asas Personalitas ke-Islaman
Asas ini menentukan bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli waris yang sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu apabila salah satunya tidak beragama Islam, maka tidak ada hak saling mewarisi. Asas ini ditarik dari hadis nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
6. Asas Kewarisan Akibat Kematian.
Asas ini menyatakan bahwa perpindahan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Perpindahan harta dari pemilik sewaktu masih hidup sekalipun kepada ahli warisnya, baik secara langsung atau terlaksana setelah pewaris meninggal, menurut hukum Islam tidaklah disebut pewarisan, tapi mungkin hibah atau jual beli atau lainnya. Asas kewarisan akibat kematian dapat dikaji dari penggunaan kata warasa dalam surat an Nisa' ayat 11, 12, 176. Pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Atas dasar ini hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan akibat kematian semata (yang dalam hukum BW disebut kewarisan ab intestato).
[Asas-asas ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Amir Syarifuddin, "Hukum Kewarisan Islam" , hlm. 16 dst.]

D. Kondisi Hukum Kewarisan di Indonesia
            Sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai hukum kewarisan nasional yang berlaku bagi semua bangsa Indonesia. Keadaan hukum kewarisan di Indonesia sangat plural, karena dalam waktu yang bersamaan berlaku lebih dari satu aturan hukum. Sampai saat ini ada 3 (tiga) aturan hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia, yaitu: (1). Hukum Kewarisan Adat, yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli. Hukum kewarisan adat ini keadaannya sangat berbineka, antara satu daerah dengan daerah yang lain terkadang ada perbedaan yang sangat jauh, (2) Hukum Kewarisan BW yang berlaku bagi WNI keturunan Eropa dan Timur Asing (selain WNI keturunan Timur Tengah yang pada umumnya tunduk pada hukum kewarisan Islam), (3) Hukum Kewarisan Islam yang berlaku bagi orang Islam, baik orang Indonesia asli ataupun keturunan. Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa kewarisan yang diajukan kepadanya akan memberlakukan hukum kewarisan Islam. Pada awalnya Pengadilan Agama dalam menyelesaikan  sengketa kewarisan selain mendasarkan kepada al-Qur’an dan al-hadis juga menggunakan pendapat fuqaha yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh terutama kitab fiqh yang beraliran Syafi’iyah. Setelah ditetapkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tenta ng Penyebar Luasan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) maka KHI lebih banyak dijadikan pegangan oleh Pengadilan Agama.


II. Tahap-tahap Pensyari'atan Hukum Kewarisan Islam.

Bangsa Arab sebagai masyarakat yang pertama kalinya menerima ajaran Islam, bukanlah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka mempunyai aturan berupa tradisi yang mereka warisi seara turun temurun dari nenek moyangnya. Tradisi mereka, di samping ada yang baik sesuai dengan logika yang sehat, banyak juga yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan fitrah yang murni, termasuk dalam masalah pewarisan. Kondisi kewarisan pada masyarakat Arab jahiliyah antara lain dapat dilihat dari sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lainnya.

A. Sebab-sebab mewarisi pada masyarakat jahiliyah
Adapun sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lain, pada bangsa Arab di jaman jahiliyah adalah dikarenakan satu dari tiga hal, yaitu:
1.  النسب والقرابة karena mempunyai hubungan nasab/kekerabatan dengan pewaris,
2. الحلف والمعاقدة  karena ada ikatan sumpah setia dengan pewaris,
3. التبنى   karena sebagai anak angkat (baca: Hasanain M. Makhluf, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, hlm. 4-6; Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 12-14).
Namun dalam semua sebab di atas dibatasi bahwa mereka yang berhak mendapat warisan hanyalah "laki-laki yang sudah dewasa". Adapun wanita, sekalipun sudah dewasa dan laki-laki yang belum dewasa, tidak berhak mendapat warisan. Penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut sebagai berikut:

1. Pewarisan karena ada hubungan nasab dengan pewaris.
Sekalipun mereka mewarisi karena ada hubungan nasab, hubungan kekerabatan, atau hubungan darah, antara ahli waris dengan pewaris, akan tetapi seperti dikemukakan di atas ahli waris yang bisa menerima warisan karena hubungan darah ini terbatas hanya orang laki-laki yang sudah dewasa saja. Hal demikian dikarenakan dalam pandangan orang Arab jahiliyah orang yang berhak mendapat warisan itu hanyalah orang yang sudah mampu naik kuda dan memanggul senjata untuk membela kehormatan keluarga dan clan/qabilah dari serangan orang lain, dan orang yang mampu mendapatkan harta rampasan perang dengan menyerobot harta-harta rnusuh. Hal demikian tidak mungkin dilakukan oleh perempuan karena fisiknya lemah, begitu pula anak-anak, sehingga karenanya mereka tidak layak mendapat warisan.
Bangsa Arab jahiliyah adalah bangsa yang hidupnya berclan-clan dan tergolong bangsa yang nomad, hidup tidak menetap, gemar mengembara dan berperang. Di samping usahanya yang lain, kehidupan mereka pun sedikit banyaknya tergantung daripada hasil jarahan dan rampasan perang dari clan-clan yang mereka kalahkan. Dengan demikian ada ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang untuk mempertahankan hidup dari serangan orang lain atau untuk mengalahkan kelompok lain dan menjarah harta rampasan perang. Ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang berarti ketergantungan kepada laki-laki yang sudah dewasa, sekaligus menghilangkan peran dari perempuan dan orang-orang yang belum dewasa. Menurut mereka logis kalau warisan hanya diberikan kepada laki-laki yang sudah dewasa saja dan logis pula kalau perempuan serta laki-laki yang belum dewasa tidak berhak mendapatkannya.
Pada masa jahiliyah, selain wanita tidak boleh mendapatkan warisan, sebagian besar mereka bahkan beranggapan wanita (janda) sendiri merupakan barang warisan (Ibnu Kasir, I: 465). Beberapa riwayat yang dinukil oleh Ibnu Kasir dalam menerangkan asbab an-nuzul ayat 19 surat an-Nisa' merupakan bukti bahwa wanita janda itu dapat diwarisi. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa jika ada seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri (janda), maka janda tersebut dapat diwarisi oleh anaknya atau kerabatnya. Jika wanita itu cantik akan dikawininya, tetapi apabila tidak disenanginya, maka wanita itu ditahannya dan tidak boleh kawin dengan orang lain sampai dia meninggal dunia atau mengembalikan mahar yang dulu ia terima. Pada masa Islam, tradisi ini kemudian dibatalkan dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 19:
يايّها الذين امنوا لايحلّ لكم أن ترثوا النّساء كرها ولا تعدلوهنّ لتذهبوا ببعض مآاتيتموهنّ إلاّ أن يأتين بفاحشة مبيّنة (النساء: 19 ) 
Dalam pada itu kebiasaan tidak memberi warisan kepada wanita, juga dapat diketahui dari riwayat-riwayat yang merupakan asbab an-nuzul ayat-ayat mawaris. Meskipun riwayat-riwayat itu agak berbeda dalam penyebutan orangnya, tetapi hampir seluruh riwayat itu berkaitan dengan tidak diberikannya hak warisan kepada perempuan. Salah satu riwayat tersebut bersumber dari sahabat Jabir, menerangkan pengaduan janda dari Sa'ad bin Rabi' sebagai berikut ( Asy-Syaukani, Nail al Autar, VI: 171):
عن جابر قال جاءت امرأة سعد بن الربيع الى رسول الله صلعم بابنتيها من سعد فقالت يا رسول الله هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل ابوهما معك فى احد شهيدا, وإنّ عمهما أخذ مالهما فلم يدع لهما مالا, ولا يُنْكحان إلاّ بمال, فقال يقضى الله فى ذلك, فنزلت آية الميراث, فأرسل رسول الله صلعم الى عمهما فقال: أعط ابنتى سعد الثلثين وأمهما الثمن وما بقى فهو لك (رواه الخمسة إلا النسائى)
Tindakan saudara laki-lakinya Sa'ad bin Rabi' yang mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad bin Rabi' dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak perempuannya Sa'ad bin Rabi' adalah sebagai gambaran bahwa waktu itu perempuan tidak berhak mendapat warisan.
Diriwayatkan pula bahwa setelah diturunkannya ayat mawaris yang mengatur bagian ahli waris wanita, masih ada orang yang antipati, karena apa yang ditetapkan Allah bertentangan dengan kebiasaan mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibn Abbas r.a. bahwa di antara orang-orang yang antipati itu ada yang menghadap Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasul apakah kita akan memberikan warisan kepada anak kecil yang tidak menghasilkan apa-apa?, apakah kita akan memberikan seperdua bagian kepada anak perempuan dari harta yang ditinggalkan ayahnya, padahal ia tidak bisa menunggang kuda dan berjuang di medan tempur?

2. Pewarisan karena ada ikatan sumpah setia
Di kalangan orang Arab jahiliyah, seseorang mendapat warisan selain karena mempunyai hubungan darah dengan pewaris juga karena adanya janji setia. Sudah menjadi tradisi di kalangan mereka, dua orang mengadakan sumpah setia untuk saling tolong menolong, untuk sehidup semati. Apabila seseorang senang kepada yang lainnya, maka dia berkata kepada yang disenanginya :
دمى دمك وهدمى هدمك وترثنى وارثك وتطلب بى واطلب بك
"Darahku darahmu juga, tertumpahnya darahku berarti tertumpahnya darahmu, engkau mewarisi dari aku dan aku pun mewarisi dari kamu, engkau menuntut bela karena aku dan aku menuntut bela karena engkau".
Temannya kemudian menjawab seperti itu juga (Abd Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 13)
Atau dengan ucapan lain yang mereka ucapkan setelah mereka saling meletakan tangan, seperti:
عاقدنى وعاهدنى على النصرة والمعاينة
"Bersumpah setialah dan berjanjilah padaku untuk saling tolong menolong dan bantu membantu"- lalu pihak yang satunya menyetujuinya (Fatchur Rachman, Ilmu Waris, 1994: 14)
Apabila yang bersumpah setia itu (laki-laki yang sudah dewasa) ada yang meninggal maka temannya yang hidup berhak mendapat warisan sebesar seperenam, dan sisanya dibagi di antara ahli warisnya yang lain (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm. 15).

3. Pewarisan karena pengangkatan anak
Mengadopsi anak merupakan tradisi yang merata pada orang Arab jahiliyah. Dalam tradisi mereka, anak yang diadopsi kemudian nasabnya dirubah, tidak lagi dinasabkan kepada orang tua kandungnya tetapi dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sehingga status anak angkat sama dengan anak kandung. Muhammad sendiri sebelum menjadi rasul, telah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Harisah, setelah diadopsi lalu dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Apabila orang tua angkatnya meninggal dunia, anak angkat berhak mendapat warisan sebagaimana anak kandungnya dengan ketentuan anak angkat tersebut harus  laki-laki dan sudah dewasa.

B. Sebab-sebab Mewarisi pada Fase Hijrah.
Islam datang untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia dalam segala aktifitasnya. Seperti telah disebutkan, bahwa bangsa Arab yang pertama kalinya menerima dakwah Islam, bukanlah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka mempunyai tata aturan yang berupa adat kebiasaan atau tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya. Tradisi mereka itu ada yang sesuai dengan akal sehat, tapi ada juga yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah yang murni. Oleh karena itu setelah Islam datang, tidak seluruh tradisi mereka dibatalkan, tradisi yang baik tetap dipertahankan, sebagian tradisi itu diperbaiki dan diluruskan, dan sebagiannya lagi dibatalkan karena tidak sesuai. Dalam pembatalan tradisi yang tidak sesuai maupun dalam penetapan aturan yang baru tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan secara bertahap. Demikian halnya dalam penetapan hukum kewarisan.
Pada periode Makkah, syari'at Islam belum mengatur tentang pewarisan. Oleh karena itu sebab-sebab pewarisan karena tiga hal di atas tetap berjalan, belum ada perubahan. Pada periode Makkah umat Islam jumlahnya masih sedikit dan dalam keadaan lemah. Sampai akhirnya Allah memerintahkan Nabi dan umat Islam hijrah dari Makah ke Madinah.
Orang-orang Muhajirin yang datang ke Madinah dalam keadaan lemah, baik secara mental, fisik maupun materi. Untuk itu orang-orang Ansar banyak memberikan bantuan kepada Muhajirin, mulai dari tempat tinggal sampai kepada persoalan pekerjaan. Bahkan orang-orang Ansar lebih mengutamakan saudaranya Muhajirin daripada dirinya dan keluarganya (baca surat al-Hasyr ayat 9). Untuk memperkokoh persaudaraan Muhajirin dan Ansar, maka Rasulullah mempersaudarakan secara khusus antara orang-orang Ansar dan Muhajirin. Selanjutnya untuk mendukung suksesnya perintah hijrah, maka persoalan waris mewaris pun pada periode Hijrah ini dikaitkan dengan hijrah itu sendiri. Oleh karenanya sebab-sebab mewarisi karena tiga hal di atas sedikit mengalami perubahan yaitu dibatasi dengan dua hal, yaitu:
l. Hijrah dari Makkah ke Madinah  (الهجرة من مكة إلى المدينة)
2. Persaudaraan yang diikat oleh Rasulullah antara Muhajirin dan Ansar
(المؤاخاة بين المهاجرين والانصار)
Yang dimaksud dengan "hijrah dari Makkah ke Madinah" sebagai sebab mewarisi ialah apabila orang Muhajirin ada yang meninggal dunia dalam perjalanan hijrah atau pada waktu di Madinah, maka yang berhak mewarisinya hanyalah kerabatnya atau anak angkatnya atau orang yang mengikat sumpah setia tetapi yang sama-sama hijrah, sedangkan kerabatnya yang belum mau hijrah dan masih tinggal di Makkah tidak berhak mendapat warisan, sekalipun sudah beriman. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam al­-Qur' an surat al-Anfal ayat 72. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah bahwa ... مالكم من وّلايتهم makna wilayah dalam ayat 72 surat al-Anfal adalah pewarisan.
Adapun yang dimaksud dengan "persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar yang diikat oleh Nabi" sebagai sebab mendapat warisan ialah apabila orang Muhajirin meninggal di Madinah dan tidak ada seorang pun kerabatnya yang ikut hijrah, maka yang berhak mewarisinya ialah orang Ansar yang telah dipersaudarakan secara khusus oleh Nabi. Demikian halnya apabila ada orang Ansar yang meninggal dan tidak ada seorang pun kerabatnya, maka yang berhak mewarisinya ialah Muhajirin yang telah dipersaudarakan secara khusus oleh Nabi (Abd Rahim al-Kisyka, 1969: 15)
Setelah Makah dapat dikuasai oleh kaum muslimin, maka hijrah dari Makkah ke Madinah tidak lagi sebagai kewajiban. Nabi bersabda : لاهجرة بعد الفتح (متفق عليه)
Oleh karena itu pewarisan karena hijrah pun dibatalkan. Demikian juga pewarisan karena adanya ikatan khusus persaudaraan Muhajirin dan Ansar juga dibatalkan dengan turunnya surat al-Ahzab ayat 6 dan al-Anfal ayat 75 (Silahkan dibaca kedua ayat tsb.)
Setelah keimanan orang-orang Islam semakin kuat maka yang dibatalkan bukan hanya pewarisan karena hijrah dan persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar saja, beberapa tradisi yang lain yang tidak sesuai juga dibatalkan. Kebiasaan mengangkat anak yang merubah nasab anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dibatalkan dengan turunya surat al-Ahzab ayat 40, 4 dan 5 (Silahkan baca ayat tsb.)
Pewarisan anak angkat sebagai bagian dari pengangkatan anak dengan sendirinya juga batal.
Pewarisan karena sumpah setia dibatalkan dengan turunnya surat al-Anfal ayat 75. Demikian menurut pendapatnya jumhur. Akan tetapi menurut Hanafiyah, pewarisan karena sumpah setia itu tidak dibatalkan, karena al-Qur'an sendiri memperbolehkan, sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa' ayat 33:   والذين عقدت أيمانكم فأتوهم نصيبهم
Oleh karena itu sumpah setia sebagai sebab mewarisi sampai sekarang tetap berlaku, hanya saja menurut Hanafiyah penerimaan mereka diakhirkan yaitu kalau sudah tidak ada seorang pun ahli warisnya karena hubungan kerabat, perkawinan, dan memerdekakan budak.
Setelah itu ayat-ayat yang turun semakin mengisaratkan akan terjadinya perubahan dalam hal pewarisan. Sebagai proses ke arah pensyari'atan hukum kewarisan, Allah mengawalinya dengan perintah membuat wasiat. Bagi orang yang merasa akan meninggal dunia, hendaknya ia membuat wasiat berkaitan dengan harta peninggalannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat al-Baqarah ayat 180:
كتب عليكم إذا حضر احكم الموت إن ترك خيرا الوصيّةُ للوالدين والاقربون بالمعروف حقّا على المتّقين
Pada fase ini Allah baru memerintahkan untuk membuat wasiat tetapi belum menentukan secara rinci berapa besarnya bagian wasiat untuk orang tua dan kerabat tersebut. Hanya saja garis perubahan siapa yang berhak atas harta peninggalan seseorang melalui wasiat tersebut sudah nampak. Dalam ayat di atas yang berhak mendapat wasiat itu tidak hanya laki-laki yang sudah dewasa saja, akan tetapi perempuan pun berhak mendapatkannya. Kata al-walidani mencakup ayah dan ibu, kata al-aqrabun juga mencakup kerabat laki-laki dan perempuan. Perubahan ini semakin nampak dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 7 (Silahkan baca ayat tsb.)

C. Sebab-sebab Pewarisan Menurut Islam
Pasca turunnya perintah membuat wasiat bagi seseorang yang akan meninggal dunia, setelah keimanan umat Islam siap menerima perubahan, barulah hukum kewarisan disyari'atkan yaitu dengan turunnya ayat-ayat yang secara eksplisit mengatur tentang pembagian warisan, mengatur tentang ahli waris dan bagiannya, yaitu turunnya ayat: 11, 12, dan 176 surat an-Nisa'. Dalam pada itu Rasulullah lebih lanjut mengatur yang tidak disebut dalam al-Qur'an dan persolan-persolan lain yang berkaitan dengan pewarisan.
Dari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi tentang kewarisan, dapat diketahui bahwa pada akhirnya menurut syari'at Islam sebab-sebab pewarisan itu ada empat (4), yaitu:
1. Karena hubungan nasab atau kekerabatan   (النسب والقرابة)atau karena hubungan darah  (الرحيم)
2. Karena perkawinan (الزوجيّة)
3. Karena memerdekakan budak (الولاء)
4. Karena hubungan agama/sama-sama beragama Islam (جهات الاسلام)  
Dari sebab-sebab pewarisan di atas ada yang meneruskan tradisi Arab jahiliyah, karena hal itu sesuai dengan nalar yang sehat, yaitu sebab hubungan nasab atau hubungan darah. Hanya saja yang semula bengkok karena membatasi kepada keluarga yang berjenis kelamin laki-laki dan sudah dewasa, oleh Islam diluruskan menjadi semua kerabat, laki­-laki atau perempuan, dewasa atau pun belum sebagaimana yang disebutkan dalam surat an­-Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ada juga sebab pewarisan yang baru, yaitu karena hubungan perkawinan dan hubungan memerdekakan budak, serta hubungan seagama atau sama-sama muslim. Adapun tradisi jahiliyah yang dibatalkan sebagaimana telah dikemukakan yaitu sebab memperoleh warisan karena sebagai anak angkat, sedangkan ikatan sumpah setia, apakah dibatalkan atau tidak, diperselisihkan oleh para ulama.
Sebab mewarisi karena hubungan nasab atau hubungan darah, menurut Islam meliputi unsur keturunan, unsur leluhur, dan unsur saudara. Dasar hukumnya yaitu surat an-Nisa' ayat 7, 11, 12, dan 176.
Pernikahan sebagai sebab mewarisi, artinya antara suami isteri berhak saling mewarisi. Dasar hukumnya ialah surat an-Nisa' ayat 12. Berhaknya suami-isteri saling mewarisi karena hubungan perkawinan, disyaratkan dua hal: (1). Perkawinannya termasuk perkawinan yang sahih, yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya sahnya perkawinan, (2). Perkawinan tersebut masih tegak ketika salah seorang suami isteri meninggal dunia, baik secara hakiki atau secara hukmi. Secara hakiki artinya belum terjadi perceraian ketika suami-isteri itu meninggal. Adapun secara hukmi maksudnya bahwa ketika salah seorang suami isteri itu meninggal dalam masa iddah talak raj'i, karena secara hukum, perkawinan yang diputus dengan talak raj'i selama masa iddah belum putus sama sekali.
Memerdekakan budak sebagai sebab memperoleh warisan ialah bahwa orang yang memerdekakan budak berhak mewarisi dari budak yang telah dimerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakannya meninggaI dan ia tidak mempunyai ahli waris baik karena hubungan nasab atau pun karena perkawinan, tetapi tidak sebaliknya, orang yang dimerdekakan tidak berhk mewarisi dari orang yang memerdekakannya. Dasar hukumnya hadis Nabi:  الولاء لمن اعتق (رواه البخارى ومسلم عن عائشة)
"Hak wala' itu bagi orang yang telah memerdekakan"
الولاء لحمة كلحمة النسب لايباع ولا يوهب (رواه ابن هبان والحاكم)
"Wala itu suatu kekerabatan seperti halnya kekerabatan nasab, yang tidak bisa diperjual belikan dan tidak boleh dihibahkan" .
Seperti telah disinggung di atas bahwa menurut Hanafiyah, janji setia itu merupakan salah sebab menerima warisan, karena tidak dibatalkan, sekalipun penerimaannya diakhirkan, yaitu ketika tidak ada seorangpun ahli waris karena hubungan nasab, perkawinan maupun wala'. Oleh Hanafiyah janji setia itu dimasukan kepada sebab mewarisi karena wala', maka Hanafiyah membagi wala' ini kepada dua, yaitu wala'ul 'ataqah ولاء العتاقة)) (karena memerdekakan budak dan wala'ul muwalah ولاء الموالاة) ) yaitu wala' karena sumpah setia.
Adapun hubungan sesama muslim sebagai sebab mewarisi yaitu ketika seseorang yang beragama Islam meninggal dunia dan ia tidak mempunyai ahli waris seorang pun karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, atau pun karena hubungan wala' maka hartanya diwarisi oleh umat Islam, yang pada masa Nabi saw realisasinya dimasukkan kepada Baitul Mal untuk dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Dasar hukumnya bahwa sesama muslim berhak saling mewarisi ialah hadis Nabi:
من ترك مالا فلورثته وانا وارث من لاوارث له (رواه احمد, ابو داود والنسائى)
"Barangsiapa meninggalkan harta peninggalan maka bagi ahli warisnya dan saya adalah ahli waris bagi yang tidak mempunyai ahli waris"
Kata-kata Nabi mengatakan "ana" dalam hadis di atas, bukan dalam posisinya sebagai pribadi, tetapi dalam posisinya sebagai pemimpin umat.


III. UNSUR-UNSUR PEWARISAN

Untuk terlaksananya pewarisan yaitu beralihnya harta orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup diperlukan adanya tiga -unsur pewarisan, yaitu :
1. Pewaris (مورّث) yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pewaris disyaratkan dia harus sudah meninggal dunia (موت المورّث) baik secara hakiki maupun hukmi. Mati hakiki yaitu berpisahnya nyawa dari raga, sedangkan mati secara hukmi yaitu seseorang dinyatakan mati berdasarkan keputusan pengadilan, sedangkan orangnya ada kemungkinan sudah mati atau mungkin masih hidup, seperti dalam kasus orang yang mafqud.
2. Ahli waris وارث)), yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya pewaris karena ia dengan pewaris ada hubungan kekerabatan atau ikatan perkawinan.  Ahli waris disyaratkan harus dalam keadaan hidup  (حياة الوارث)meskipun hanya sesaat ketika pewarisnya meninggal dunla, balk hidup secara hakiki maupun secara hukmi
3. Harta warisan  (موروث, تركة)yaitu apa-apa yang ditinggalkan pewaris, yang dalam al-Qur'an disebut dengan  مَا تَرَك. Harta warisan مَا تَرَك  ini bisa berujud (1) benda  (اموال)  baik benda tetap maupun benda bergerak, (2). Hak-hak (حقوق) yang mengandung makna benda, seperti piutang, diyat, dll. Adapun hak-hak kepribadian, seperti status, jabatan, hak menceraikan isteri, meli'an isteri, dll. tidak dapat diwariskan.
Apabila salah satu rukun di atas dengan syaratnya tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi pewarisan, seperti ada yang mempunyai harta kekayaan cukup banyak, tetapi dia belum meninggal dunia, maka hartanya belum bisa diwarisi, atau dia sudah meninggal dunia, tetapi tidak mempunyai ahli waris seorang pun, maka pada dasarnya tidak terjadi juga pewarisan.

IV. PENGHALANG UNTUK MEWARISI  ( موانع الارث)
Sekalipun sudah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pewarisan, akan tetapi adakalanya seseorang ahli waris tidak mendapat warisan. Hal ini ada dua kemungkinan, perlama, karena ada ahli waris lain yang lebih utama, sebagai contoh, ahli warisnya: anak laki-laki dan saudari sekandung. Dalam kasus ini saudari sekandung tidak mendapat warisan karena ada waris yang lebih utama yaitu anak laki­-laki, seandainya saja anak laki-laki tidak ada, saudari akan mendapat bagian. Ahli waris yang tidak mendapat warisan karena ada ahli waris yang lain, disebut mahjub  (محجوب) dan penyebabnya disebut al-hajbu (الحجب). Kcdua, karena ada penghalang untuk menerima warisan, seperti ahli waris berbeda agama dengan pewaris, ahli waris membunuh pewarisnya. Ahli waris yang tidak mendapat warisan karena pada dirinya ada penghalang menerima warisan disebut mamnu' (ممنوع) atau  mahrum  (محروم)dan penghalangnya disebut hirman (حرمان). Selanjutnya akan  dibicarakan mengenai penghalang menerima warisan.
Penghalang pewarisan yaitu "suatu sifat yang menyebabkan orang  yang bersifat dengan sifat tersebut itu tidak dapat menerima pusaka, padahal cukup sebab-sebabnya dan cukup pula syarat-syaratnya (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm. 51). Dengan ungkapan lain, penghalang kewarisan ialah "suatu sifat  atau tindakan  yang menyebabkan ahli waris yang bersifat dengan sifat tersebut atau melakukan tindakan tersebut tidak dapat menerima warisan sekalipun memenuhi sebab-sebab dan syarat-syarat mewarisi"
Menurut hukum kewarisan Islam, penghalang menerima warisan ada tiga, yaitu: perbudakan, berbeda agama, dan pembunuhan.
1.    Perbudakan (الرّقّ) yaitu bahwa budak tidak berhak menerima warisan dari pewa­risnya. Demikian juga budak tidak bisa diwarisi oleh keluarganya. Budak tidak menerima warisan karena ia dipandang tidak cakap, tidak dapat mengurusi harta, karena dia sendiri dinilai sebagai harta bagi tuannya. Seandainya dia diberi warisan, maka yang akan menerima warisan tersebut bukan dia tetapi tuannya, karena dia sendiri milik tuannya. Ketidak mampuan budak mengurusi harta, disebutkan dalam firman Allah:
ضرب الله مثلاً عبدا مملوكا لا يقدر على شيئ (النحل: 75)
Budak juga tidak dapat diwarisi karena dia melarat, tidak memiliki apa-apa, dia sendiri kepunyaan tuannya.

2. Berbeda agama إختلاف الدين)  ) yang dimaksud yaitu bahwa bahwa agama pewaris berbeda dengan agamanya ahli waris. Dalam hal ini  salah satunya beragama Islam, sedang pihak lainnya tidak beragama Islam. Ahli warts yang tidak beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang beragama Islam dan sebaliknya, ahli waris yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang tidak beragama Islam. Larangan pewarisan antara yang beragama Islam dengan yang tidak beragama Islam ini diatur dalam hadis Nabi:
1- لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رواه البخارى)
2- لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى (رواه ابو داود)
Semua agama di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab dengan non ahli kitab. Oleh kaarena ahli aris yang beragama Kristen, Yahudi,   Hindu, Budha tidak bisa mewarisi dari orang Islam, orang Islam dan sebaliknya. Dalam pada itu Muaz, Mu'awiyah, al-Hasan, Ibnul Hanafiyah, Masruq berpendapat bahwa orang Islam berhak mewarisi dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلا يُعْلَى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى)
Di antara ketinggian Islam itu bahwa orang Islam berhak menerima warisan dari non muslim, tetapi tidak sebaliknya.
Kapan perbedaan agama itu diperhitungkan? Menurut jumhur ulama adalah sejak kematian pewaris. Apabila pada waktu meninggalnya pewaris ada di antara ahli warisnya yang tidak bergama Islam dan sebelum harta warisan dibagi dia masuk Islam, tetap saja tidak berhak mendapat warisan. Jumhur ulama beralasan karena penentuan waktu berpindahnya harta warisan kepada ahli waris adalah ketika pewaris meninggal dunia. Sementara menurut Imam Ahmad dan Syi'ah penentuan berbeda agama itu diperhitungkan bukan pada waktu kematian pewaris tetapi pada waktu harta warisan akan dibagi. Oleh karena itu apabila pada waktu pewaris meninggal dunia ada ahli waris yang berbeda agama kemudian sebelum harta warisan dibagi-bagi dia masuk Islam, maka dia berhak mendapat warisan, karena kriteria perbedaan agama sudah tidak ada lagi. Syi'ah beralasan karena sebelum harta warisan betul-betul dibagi harta tersebut belum menjadi hak para ahli waris.
3. Pembunuhan (القتل), yang dimaksud yaitu ahli waris yang membunuh pewarisnya ia tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya, tetapi tidak sebaliknya. Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang dibunuh adalah sabda Nabi saw.
1- لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتُولِ شَيْئًا (رواه الترمذى)
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ (رواه ابن ماجه)
Selain berdasarkan sabda Nabi di atas juga didasarkan kepada qaidah fiqh yang berbunyi:
مَنْ اِسْتَعْجَلاَ شَيْـئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa yang menyegarakan sesuatu sebelum waktunya, dihukum dengan dilarang (tidak diberikan) apa yang ingin disegerakannya"


Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si pewaris dengan maksud untuk segera mendapat warisannya. Akan tetapi justru hukum melarang apa yang ingin disegerakannya yaitu dengan tidak diberikan hak mendapat warisan kepadanya.
Sekalipun pembunuhan disepakati sebagai penghalang menerima warisan, akan tetapi apakah semua jeni's pembunuhan berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, ataukah hanya pebunuhan tertentu saja? Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.

a. Menurut fuqaha Hanafiyah
Fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan adalah pembunuhan yang bersanksi qisas atau kafarah yang kesemuanya ada empat macam, yaitu: pembunuhan sengaja (yang diancam dengan hukuman qisas), pernbunuhan semi/mirip sengaja, pernbunuhan karena salah, dan pernbunuhan yang dianggap salah (ketiganya dengan sanksi hukuman kafarah).
 1. Pembunuhan sengaja (القتل العمد)        yaitu pelaku sengaja membunuh dengan menggunakan alat yang mematikan, seperti senjata apai, senjata tajam, atau benda­ lain yang umumnya mematikan. Pembunuhan sengaja dihukum dengan hukuman qisas, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 178 juncto surat an-Nisa ayat 93:
يايّها الذين امنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى ... (البقرة:178)
ومن يقتل مؤمنا متعمّدا فجزآءه جهنّم خالجا فيها ... (النساء: 93)
2. Pembunuhan semi sengaja   (القتل شبه العمد)yaitu pembunuhan dengan menggu­nakan alat yang umumnya tidak mematikan, seperti  ranting kecil, tetapi terjadi juga kematian.
3. Pembunuhan karena silap/salah  (القتل الخطأ) baik salah dalam perbuatan, seperti orang  yang menebang pohon tetapi kapaknya lepas dan mengenai orang sampai mati, atau salah dalam maksud, seperti orang menembak suatu sasaran yang dikira binatang buruan dan kena secara tepat, akan tetapi ternyata bukan binatang melainkan orang.
4. Pembunuhan yang dianggap silap (القتل الجارى مجرى الخطأ)  seperti orang tidur di tempat yang tinggi kemudian jatuh menimpa orang di bawahnya sampai mati.
Pembunuhan nomor 2, 3, dan 4 di atas adalah membunuh dengan tidak sengaja, oleh karenanya dikenakan sanksi kafarah, yaitu membebaskan budak atau kalau tidak dapat dilakukan maka berpuasa dua bulan berturut-turut, seperti diatur dalam firman Allah surat an-Nisa' ayat 92.
Keempat macam pembunuhan di atas semuanya berakibat si pelaku tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang menjadi korban. Adapun pembunuhan yang tidak berkibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, menurut Hanafiyah ialah:
1) Pembunuhan tidak langsung (القتل بالتسبب) seperti seseorang menggali lobang untuk perangkap binatang buas, ayahnya yang tidak mengetahui ada lobang, lewat di situ dan terperosok ke dalam lobang sampai mati. Dalam contoh ini penyebab kematian yang langsung adalah terperosok ke dalam lubang;
2) Pembunuhan karena hak (القتل بحق) seperti orang yang menjalankan hukuman had, eksekutor hukuman mati. Pembunuhan di sini dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh agama maupun aturan pemerintah;
3) Pembunuhan karena uzur  (القتل بعذر)seperti orang yang membunuh untuk membela diri.
4) Pembunuhan oleh orang yang belum dewasa atau akalnya tidak sehat/gila
(القتل من غير المكلف)
b. Menurut fuqaha Malikiyah
Menurut fuqaha Malikiyah pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan digerakan oleh rasa permusuhan, dilakukan secara langsung atau tidak langsung
(القتل العمد العدوان, سواء أكان بالمباشرة أم بالتسبب). Jadi yang dinilai oleh ulama Malikiyah adalah ada atau tidak adanya niat membunuh. Apabila berniat membunuh, maka pembunuhan itu dikategorikan pembunuhan sengaja, mengenai caranya tidaklah menjadi persoalan, bisa dilakukan secara langsung, seperti dibacok, ditembak, dipukul, atau dilakukan secara tidak langsung, seperti menyuruh orang lain untuk membunuhnya, memberikan saksi palsu, sehingga karena kesaksian palsunya itu seseorang dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu apabila unsur niat ini tidak ada maka tidak termasuk pembunuhan sengaja dan tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti pembunuhan karena salah (القتل الخطأ). Demikian juga apabila pembunuhan itu bukan karena permusuhan seperti pembunuhan karena hak, atau karena uzur (seperti membela diri), pelakunya belum dewasa atau gila,  tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan.

c. Menurut fuqaha Syafi'iyah
Fuqaha Syafi'iyah berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan berakibat terhalangnya pelaku dari merima warisan, apakah itu pembunuhan sengaja atau karena salah, pembunuhan langsung atau tidak langsung, pembunuhan yang dilakukan oleh orang dewasa ataupun oleh anak-anak, atau orang gila, pembunuhan kaarena hak atau bukan. Termasuk juga terkena terhalang dari menerima warisan adalah: orang yang memberikan kesaksian yang karena persaksiannya seseorang dihukum mati, hakim yang memutuskannya, jaksa yang menuntutnya dan algojo yang mengeksekusinya.

d. Menurut fuqaha Hanbaliah
Menurut fuqaha Hanbaliah, pembunuhan yang mengakibatkan terhalangnya pelaku menerima warisan dari pewaris yang dibunuhnya adalah pembunuhan bukan karena hak, yang menyebabkan qisas atau diyat atau kafarah, seperti pembunuhan sengaja atau semi sengaja, pembunuhan karena silaf, pembunuhan langsung atau tidak langsung, pelakunya sudah dewasa atau belum, pelakunya berakal sehat atau tidak.Adapun pembunuhan yang dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh agama maka tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti menjalankan qisas, atau pembunuhan karena membela diri.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VIII: 254-266, Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras al-Muqaran, hlm. 46 – 67)
Menurut penelitian as-Syaikh Muhammad `Abdur Rahim al-Kisyka bahwa pendapat yang rajih dan terpilih adalah pendapatnya ulama Malikiyah dan yang sejalan dengan pendapatnya Malikiah.

V. HAK-HAK YANG BERKAITAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
المتعلقة بالتركة) (الحقوق
Pewaris selain meninggalkan ahli waris, adakalanya juga ketika hidupnya ia mempunyai kewajiban kepada orang lain dan ketika ia meninggal kewajibannya itu belum sempat diselesaikan, seperti ia mempunyai hutang yang belum dibayar, atau mungkin ia meninggalkan wasiyat yang menyangkut harta peninggalannya. Sudah barang tentu kewajiban pewaris kepada pihak lain itu harus dilaksanakan lebih dahulu sebelum harta warisan dibagi di antara para ahli waris. Oleh karena ada kemungkinan yang mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris itu banyak pihak, sedangkan harta peninggalan pewaris tidak cukup untuk memenuhi semuanya, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan, seperti mendahulukan pihak yang semestinya diakhirkan, maka hukum kewarisan Islam mengatur urut-urutan pihak-­pihak yang mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris.
Menurut hukum kewarisan Islam, hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan pewaris diurutkan dengan tertib sebagai berikut:

1. Hak-hak yang menyangkut kepentingan mayit sendiri yaitu untuk biaya penyelenggaraan jenazah (تجهيز الميت وتكفينه)
2. Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur atau untuk membayar hutang pewaris (قضاء الديون)
3. Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat atau untuk memenuhi wasiatnya pewaris  (تنفيذ الوصية)
4. Haknya para ahli waris (حق الوراثة)
Pertama, harta peninggalan pewaris pertama-tama dikeluarkan untuk memenuhi haknya pewaris, yaitu biaya penyelenggaraan jenazah antara lain biaya memandikan, pembelian kain kafan, membawanya ke kubur dan biaya penguburannya. Pengeluaran tajhiz mayit ini dilaksanakan menurut ukuran yang wajar, tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu ngirit dan hanya untuk yang dituntunkan oleh syara', hal-hal yang tidak diperintahkan oleh syara' apabila dilaksanakan juga karena desakan tradisi tidak diambilkan dari tirkah, sehingga tidak mengurangi haknya pihak lain, seperti haknya para kreditur termasuk haknya ahli waris sendiri. Dari tirkah ini diambilkan juga untuk biaya tajhiz orang yang nafkahnya pada waktu hidupnya menjadi tanggung jawab pewaris, seperti anaknya atau isterinya yang juga meninggal sebelum harta warisan dibagi-bagi.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah apabila harta peninggalan pewaris itu semuanya terkait langsung dengan hak orang lain, seperti harta peninggalannya itu sebidang tanah dan rumah yang sedang digadaikan atau dijadikan agunan bank, maka yang dipenuhi lebih dahulu adalah haknya pemegang gadai atau pemegang agunan atau kreditur yang piutangnya terkait secara langsung dengan `ain/wujud harta peninggalan, apabila tirkah pewaris tidak lagi tersisa maka biaya tajhiz dibebankan kepada keluarganya, atau kepada baitul maI atau kepada orang-orang Islam lainnya. Setelah dicukupi haknya orang yang mempunyai piutang yang terkait langsung dengan harta peninggalan dan masih ada sisanya baru digunakan untuk memenuhi biaya tajhiz. Tetapi menurut Hanbaliah biaya iajhiz ini harus lebih didahulukan atas segala pengeluaran yang lain, termasuk atas haknya orang yang piutangnya terkait langsung dengan `ain/wujud harta pening­galan, karena biaya tajhiz ini sebagai ganti akan kebutuhan nafakah ketika ia hidup. Kebutuhan untuk menutup aurat pada waktu masih hidup lebih didahulukan atas membayar hutang sekalipun, demikian halnya dengan kebutuhan kain kafan setelah dia meninggal harus lebih didahulukan atas segala pengeluaran yang lain. Diqiyaskan kepada kebutuhan akan kain kafan adalah segala kebutuhan untuk penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan.
Kedua, setelah dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah dan pewaris mempunyai hutang, selanjutnya harta peninggalan digunakan untuk membayar hutangnya pewaris atau untuk memenuhi hak-haknya para kreditur. Apabila pewaris mempunyai beberapa macam hutang, manakah hutang yang harus didahulukan? Dalam rnenjawab pertanyaan ini ada beberapa pendapat di kalangan fuqaha mawaris. Sebelumnya perlu disistimatikan lebih dahulu pembagian hutang tersebut.
 دين
دين الله                 دين العباد/دين الأدمى
                   دين العينية         دين المطلقة
Dilihat kepada siapa hutang tersebut, ada dua macam hutang, yaitu hutang kepada Allah  (دين الله)dan hutang kepada sesama (دين العباد/دين الأدمى). Hutang kepada sesama dibedakan lagi menjadi: pertama, hutang yang terkait langsung dengan wujud atau `ain harta peninggalan (دين العينية) seperti hutang gadai. Kedua hutang secara mutlak, hutang pada umumnya yaitu hutang yang tidak terkait langsung dengan wujud harta peninggalan.
Dari macam-macam utang di atas, menurut ulama Hanafiyah, hutang kepada Allah, seperti zakat, kafarah, nazar, menjadi gugur pembayarannya dengan meninggalnya pewaris kecuali kaiau diwasiatkan untuk membayarnya, karena hutang kepada Allah termasuk ibadah yang pelaksanaannya memerlukan niat dan ini tidak mungkin dilaksanakan oleh orang yang teiah mati. Dengan demikian tinggalah hutang kepada sesama dan apabila hutang ini terdiri dari dainul `ainiyah dan dainul mutlaqah, maka pembayaran dainul `ainiyah didahulukan, bahkan lebih didahulukan dari tajhiz. Setelah pembayaran hutang `ainiyah dicukupi dan masih ada sisanya barulah digunakan untuk biaya tajhiz, kemudian untuk membayar dainus sihah dan terakhir dainul marad. Hutang kepada Allah apabila diwasiatkan untuk rnembayarnya, maka statusnya tidak lagi sebagai hutang tetapi masuk ke dalam kelompok wasiat dan apabila  ada wasiat lainnya, dalam penunaiannya dilaksanakan secara kumulatif yang jumlah seluruhnmya maksimal sepertiga dari harta peninggalan setelah dikurangi untuk tajhiz dan membayar hutang.
Menurut Malikiyah, Syaf'iyah dan Hanbaliah, hutang kepada Allah tidak gugur dengan meninggalnya seseorang, akan tetapi mereka berbeda pendapat, manakah yang didahulukan antara pembayaran hutang kepada Allah dengan hutang kepada sesama. Menurut Syafi' iyah hutang kepada Allah lebih didahulukan dari hutang kepada sesama (selain dain `aniyah). Hal ini  berdasarkan sabda Rasulullah saw:
فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى (رواه ابو داود)
Setelah itu baru dikeluarkan untuk tajhiz, kemudian membayar hutang mutlaqah dengan tidak membedakan antara dainus sihah dan dainul marad, karena antara keduanya sejajar.
Ulama Malikiah lebih mendahulukan pembayaran hutang kepada sesama dari pada hutang kepada Allah, dengan alasan manusia sangat membutuhkan untuk dilunasi piutangnya sedang Allah zat yang Maha Kaya. Dengan demikian urut­-urutannya adalah: dain `ainiyah, tajhiz, dainus sihah, dainul marad, baru dainullah.
Ulama Hanbaliah rnenempatkan pada posisi yang sama antara membayar hutang kepada Allah dengan hutang kepada sesama, dan keduanya baru ditunaikan setelah dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, karena seperti telah disebutkan Hanbaliah lebih mendahulukan tajhiz atas semua hutang-hutang.
Ketiga, setelah hutang hutang pewaris dibayar dan pewaris  ada meninggalkan wasiat, dan harta peninggalannya masih ada, maka selanjutnya dikeluarkan lagi untuk melaksanakan wasiatnya pewaris dengan batas maksimal sepertiga dari harta yang tersisa. Bahwa wasiat itu maksimal sepertiga adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqas. Oleh karena itu apabila wasiat tersebut lebih dari sepertiga maka kelebihannya menjadi batal kecuali apabila semua ahli waris mengijinkan. Hal ini dapat difahami, wasiat itu dibatasi sepertiga adalah dalam rangka memperhatikan haknya para ahli waris. Oleh karena itu apabila ahli waris tidak keberatan haknya dikurangi, maka kelebihannya dari sepertiga diperbolehkan.
Dalam pada itu wasiat yang diperbolehkan adalah wasiat kepada selain ahli waris yang berhak mendapat warisan. Apabila wasiat itu ditujukan kepada ahli waris dan ia pun memperoleh bagian warisan, maka wasiat demikian tidak sah, kecuali apabila diijinkan oleh para ahli waris yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Abu Umamah:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ...
Sebagaimana diketahui bahwa dalam surat al-Baqarah ayat 11 dan 12 penyebutan wasiat itu didahulukan dari pembayan hutang(من بعد وصية يوصى بها او دين)  tetapi dalam pelaksanaannya pembayaran hutang justru lebih didahulukan dari penunaian wasiat. Hal ini didasarkan kepada praktek Nabi yang lebih mendahulukan membayar hutang atas wasiat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ali ra:
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ (رواه الترمذى)
Hal ini dapat difahami karena membayar hutang itu merupakan kewajiban, sedangkan wasiat itu perbuatan tabarru', perbuatan suka rela untuk mencari kebaikan yang hukumnya sunah, sudah barang tentu perbuatan wajib harus lebih didahulukan dari perbuatan sunah. Adapun tujuan al-Qur'an mendahulukan penyebutan wasiat dari penyebutan hutang dan dihubungkan dengan kata au (او)  menurut para ulama lafaz  أو dalam firman Allah surat an-Nisa' ayat 11 dan 12 bukan untuk tartib, tetapi untuk tafsil (memerinci), seolah-alah Allah mengatakan bahwa para ahli waris berhak atas bagiannya itu setelah ditunaikan lebih dahulu salah satu dari hutang atau wasiat atau setelah ditunaikan kedua-duanya. Dari sisi lain bahwa wasiat lebih didahulukan penyebutannya dari hutang dalam firman Allah adalah untuk mengingatkan dan memberi perhatian kepada para ahli waris bahwa menunaikan wasiat pewaris itu sama wajibnya dengan membayar hutang pewaris. Hal ini karena. umumnya orang merasa berat untuk melaksanakan wasiat bahkan sengaja dilupakan, mengingat wasiat ini bukan perbuatan tegen prestasi tetapi semata-mata hanya mencari kebaikan, Iain halnya dengan membayar hutang yang merupakan suatu imbalan jasa baik dari pihak yang rnemberi piutang, sehingga sudah seharusnya hutang itu dibayar sebagai suatu tegen prestasi.
Keempat, setelah ketiga pengeluaran di atas dilaksanakan dan harta peninggalan pewaris masih tersisa, maka sisanya itulah yang menjadi haknya para ahli waris.


VI. AHLI WARIS

Ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis tidaklah hanya satu macam dan sederajat, tetapi ada beberapa macam dan berbeda derajatnya.
Dilihat dari jenis kelaminnya ahli waris dibedakan kepada ahli waris laki-laki (الوارثون) dan ahli waris perempuan (الوارثات).

Ahli waris laki-laki (الوارثون)
1.              Anak laki-laki (ابن); 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dst ke bawah (ابن الابن وإن نزل) ; 3. Ayah  (اب); 4. Kakek/ayahnya ayah dst ke atas (جد/اب الاب وانه علا); 5. Saudara laki-laki sekandung (أخ الشقيق); 6. Saudara lk-lk seayah (أخ لأب); 7. Saudara laki-laki seibu (أخ لأم); 8. Anak lk-lk dari saudara sekandung (إبن الأخ الشقيق); 9. Anak laki-laki dari saudara seayah (إبن الأخ لأب) ; 10. Saudara lk-lk nya ayah yang sekandung/Paman sekandung (عم الشقيق); 11. Saudara lk-lk nya ayah yang seayah/Paman seayah (عم لأب); 12. Anak lk-lk dari paman sekandung الشقيق) (إبن العم13. Anak laki-laki dari paman ayah seayah (إبن العم لأب);           14. Suami (الزوج)

Ahli waris Perempuan  (الوارثات)
1. Anak Perempuan (بنت); 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki  dst ke bawah
(بنت الابن وإن نزلت) ; 3. Ibu  (ام); 4. Nenek dari ibu atau ayah ayah dst ke atas (nenek sahihah)  (جدة الصحيحة/ام الام/ ام الاب وإن علت); 5. Sdri prp sekandung (أخت الشقيقة);   6. Saudari perempuan seayah (أخت لأب); 7. Saudari  perempuan seibu (أخت لأم); 8. Bintu akh, atau bintu ukhti  9.Isteri (الزوجة)

Selain dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat pengelompokkan lain yang lebih prinsip. Oleh karena itu untuk mengetahui siapa di antara ahli waris yang berhak menerima harta peninggalan ketika mereka lebih dari satu orang, maka perlu diketahui lebih dahulu pengelom-pokkan ahli waris.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mengelompokkan ahli waris dan ini terkait dengan pemahaman mereka terhadap nas-nas pewarisan. Paling tidak ada tiga pendapat dalam mengelompokkan ahli waris, yaitu: menurut ulama Sunni, menurut ulama Syi'i, dan menurut Hazairin.

A. Menurut ulama Sunni 
Ulama Sunni dalam memahami ayat al-Qur'an dan hadis tentang kewarisan, telah melahirkan ajaran kewarisan sunni. Pengelompokkan ahli waris yang sangat prinsip dalam ajaran kewarisan sunni adalah pengelompokkan ahli waris kepada: zawul furud/ashabul furud, `asabah, dan zawul arham.

1. Ahli waris zawul furud ((ذو الفروض  atau ashabul furud  أصحاب الفروض)), yaitu ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis. Para ahli waris kelompok ini sudah mempunyai bagian yang baku. Dalam al­-Qur'an dan al-hadis ada enam macam bagian yang sudah ditentukan atau furudul muqaddarah (فروض المقدّرة) bagi para ahli waris,yaitu: 2/3, 1/3, 1/2, 1/4, 1/6,  dan 1/8. Adapun ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan ada 12 orang, terdiri dari 8 orang ahli waris perempuan dan 4 orang ahli waris laki-laki. Mereka. itu ialah: anak perempuan (bintun), cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (bintul ibni wa in safala); ibu (ummun); bapak (abun), nenek (jaddah); kakek (jaddun); saudari perempuan sekandung (ukhtusy-syaqiqah); saudari perempuan sebapak (ukhtu li ab); saudari perempuan seibu (ukhtu Ii um); saudara laki-laki seibu (akhun Ii um); suami (jauz), dan isteri {jauzah}. Mereka ini harus didahulukan dalam menerima warisan dari ahli waris yang lain selama tidak terhijab.
Bagian bagi para ahi waris zawul furud/ashabut furud itu sebagai berikut:

a. Ahli waris yang mendapat 2/3 bagian  (الثلثان)ada empat orang, yaitu:
1). Dua orang atau lebih anak perempuan dan tidak bersama anak laki-laki
2). Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki dan tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Dua orang atau lebih saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Dua orang atau lebih saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak.
(diatur dalam surat an-nisa ayat 106)

b.  Ahli waris yang mendapat ½  bagian ada lima orang, yaitu:
1).  Seorang anak perempuan dan tidak bersama anak laki-laki
2). Seorang cucu perempuan dari anak Iaki-laki dan tidak bersama     cucu laki­-laki
3). Seorang saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Seorang saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak
5). Suami apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)

c. Ah1i waris yang mendapat l/3 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Ibu apabila tidak ada ahli waris keturunan (anak atau cucu)
2). Dua orang atau lebih saudara/saudari seibu, baik laki-laki semua atau perempuan semua atau laki-Iaki dan perempuan.

d. Ahli waris yang mendapat 1/4 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Suami apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
2). Isteri apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)

e. Ahli waris yang mendapat 1/6 bagian ada enam orang, yaitu:
1). Cucu perempuan apabila mewarisi dengan seorang anak perempuan dan tidak bersama cucu laki-laki (perluasan dari anak, karena menurut sunni cucu masuk juga kategori ibnu)
2). Ibu apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) an-nisa ayat 11
3). Bapak apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) an-nisa ayat 11
4). Kakek apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) dan tidak ada bapak (perluasan dari ayah nenek juga seperti itu)
5). Saudari perempuan sebapak apabila mewarisi dengan seorang saudari sekan­dung dan tidak bersama saudara laki-laki sebapak
6). Seorang saudara atau saudari seibu nisa ayat 11

f.  Ahli waris yang mendapat 1/8 bagian hanya seorang yaitu isteri apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu).


2.    Ahli waris `asabah, yaitu ahli waris yang bagiannya belum ditentukan, mereka ini menerima sisa setelah diambil bagiannya ashabul furud lebih dahulu, atau mengambil semua harta peninggalan apabila tidak ada ahli waris selainnya, atau ada ahli waris yang lain tetapi mahjub.

Dasar hukum ahli waris `asabah ialah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

Selanjutnya ulama sunni membagi ahli waris `asabah kepada tiga macam, yaitu:
a. `Asabah binafsi (عصبة بالنفس)  yaitu ahli waris menjadi `asabah karena dirinya sendiri. Mereka ini semuanya laki-laki yaitu semua kerabat pewaris yang antara dirinya dengan pewaris tidak dihubungkan oleh perempuan. Mereka ini ialah: anak laki-laki (ibnun), cucu laki-laki dari anak Iaki-laki dan seterusnya ke bawah (ibnul ibni wa in nazala), bapak (abun), kakek (jaddun), saudara laki-laki sekandung (akhun syaqiq), saudara laki-laki sebapak (akhun li ab), anak laki­-laki dari sudara laki-iaki sekandung (ibnu akh syaqiq), anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ibn akh li ab), paman sekandung (`ammun syaqiq), paman sebapak (`ammun li ab), anak laki-laki paman sekandung (ibn `amm syaqiq), anak laki-laki paman sebapak (ibn `amm li ab).
b. `Asabah bil gair (عصبة مع الغير) yaitu ahli waris perempuan (yang semula ashabul furud) menjadi `asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang menjadi `asabah. Antara yang ditarik menjadi `asabah dengan yang menarik menjadi `asabah (mu'asib) adalah sederajat. Mereka ini ialah:
1). anak perempuan bersama anak laki-laki
2). Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3). Saudari perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4). Saudari perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.
Selain harus sederajat, ciri yang lain dari `asabah bil gaer adalah bagian yang laki-laki dua kali lipat dari yang perempuan atau dua berbanding satu (lizzakari mislu haddil unsayain) Dasar hukum dari `asabah bil gaer adalah firman Allah:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين (النساء: 11)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa apabila anak laki-laki mewarisi bersama anak perempuan, maka bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Karena anak laki-laki menerima bagian sisa maka hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan apabila bersama anak laki-laki juga menerima sisa (`asabah).
Baca juga ayat 176 surat an-Nisa sebagai dasar hukum `asabah bagi saudari ketika mewarisi bersama saudara.

c. `Asabah ma'al gaer (عصبة مع الغير)  yaitu ahli waris perempuan yang dijadikan `asabah oleh orang lain, ahli waris yang menjadikannya sebagai `asabah, bukan `asabah tetapi ahli waris perempuan juga (zawul furud). Ahli waris `asabah jenis ini terbatas hanya saudari sekandung atau saudari sebapak yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, yang menjadi `asabah ialah saudari sekandung atau sebapak dan yang menjadikan ia sebagai `asabah ialah anak perempuan atau cucu perempuan. Dalam hal ini anak peremuan atau cucu perempuan menerima bagiannya sebagai ashabul furud sedangkan saudari menerima sisanya. Dasar hukum dari `asabah ma'al gaer ialah hadis dari Ibnu Mas'ud yang menjelaskan pembagian harta warisan yang ahli warisnya itu anak perempuan, cucu perempuan dan saudari perempuan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنِ الْهُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي مُوسَى وَسُلَيْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ فَسَأَلَهُمَا عَنْ ابْنَةٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ لِأَبٍ فَقَالَا لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ سَيُتَابِعُنَا قَالَ فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَسَأَلَهُ وَأَخْبَرَهُ بِمَا قَالَا فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُهْتَدِينَ سَأَقْضِي بِمَا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلِابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa bagi satu anak perempuan mendapat setengah, bagi cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, dan sisanya untuk saudari perempuan. Oleh karena saudari diberikan bagian sisa, berarti saudari ketika mewarisi dengan anak perempuan atau cucu perempuan berstatus sebagai 'asabah.

 3. Ahli waris zawul arham (ذو الارخام)  yaitu karib kerabat pewaris atau orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pewaris yang tidak terrnasuk ashabul furud atau pun `asabah. Di kalangan ulama sunni sendiri diperselisihkan apakah zawul arham berhak mewarisi atau tidak, bagi yang berpendapat bisa mewarisi tetapi mereka sepakat bahwa zawul arham baru menerima warisan setelah tidak ada seorang pun ahli waris dari ashabul furud atau `asabah, selain suami atau isteri (zawul arham bisa mewarisi dengan suami atau isteri).
Adapun ahli waris zawul arham antara lain:
- Keturunan dari anak perempuan
- Keturunan dari cucu perempuan pancar laki-laki
- Ayahnya ibu (kakek dari pihak ibu)
- Keturunan dari semua saudari
- Keturunan dari saudara seibu
- Keturunan yang perempuan dari saudara sekandung dan sebapak
- Paman seibu
- Keturunan yang perempuan dari paman
- Bibi (saudari perempuannya ayah)
- Semua saudara/saudari ibu (khal dan khalah)

B. Menurut ulama Syi'ah
Ulama Syi'ah membagi ahli waris kepada dua kelompok, yaitu Zawul Fara'id atau Zawul Furud dan Zawul Qarabat. Syi'ah menolak adanya ahli waris `asabah yang dikemukakan oleh ulama sunni, dengan alasan karena hadis yang rnenjadi landasannya da'if.
Pengertian ahli waris Zawul Fara'id menurut Syi'ah, sama seperti yang dikemukakan sunni, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu. Adapun ahli waris Zawul Qarabat adalah ahli waris selain zawul fara'id dengan tidak membedakan dari garis laki-laki atau perempuan. Selanjutnya Syi'ah membagi ahli waris baik dari zawul furud maupun zawul qarabat dalam tiga martabat atau garis keutamaan, yaitu:

Martabat pertama  : ibu, bapak, dan anak-anak terus ke bawah
Martabat kedua      : saudara laki-laki dan saudari perempuan terus ke bawah (keturunannya),  kakek dan nenek baik dari garis ibu atau pun dari garis ayah terus ke atas (orang tuanya kakek dan nenek)
Martabat ketiga      : paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu serta anak-anak mereka.
Setiap ahli waris dalam martabat pertama, siapa pun ia dapat menutup semua ahli waris martabat kedua dan ketiga, demikian juga ahli waris martabat kedua dapat menutup semua ahli waris martabat ketiga. Dengan demikian ahli waris martabat kedua baru dapat mewarisi apabila sudah tidak ada ahli waris martabat pertama, dan ahli waris martabat ketiga baru dapat mewarisi apabila ahli waris mertabat pertama dan kedua tidak ada. Dalam setip martabat, ahli aris yang lebih dekat kepada pearis baik laki-laki ataupun perempuan dapat menutup/menghijab ahli waris yang lebih jauh. Sebagai contoh: Ahli warisnya: ibu, anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Mereka ini semuanya ahli waris martabat pertama, tetapi yang berhak mendapat warisan hanya ibu dan anak perempuan, sedangkan cucu laki-laki mahjub oleh anak perempuan, karena anak lebih dekat dari pada cucu. Demikian juga  dalam martabat kedua, selagi ada saudara/saudari, maka anaknya saudara/saudari mahjub oleh saudara/saudari.

C. Menurut Hazairin
Hazairin membagi ahli waris ke dalam tiga kelompok, yaitu Zawul Fara'id, Zawul Qarabat,            dan Mawali.
Mengenai ahli waris zawul fara'id, tidak berbeda dengan pendapatnya Sunni maupun Syi'i, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Ahli waris zawul qarabat, yaitu ahli waris yang tidak termasuk zawul furud, atau ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya, atau memperoleh bagian sisa.
Ahli waris mawali ialah ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan, karena orang yang digantikan itu telah meninggal lebih dahulu sebelum pewaris meninggal. Adapun yang menjadi mawali yaitu: keturunan anak pewaris (cucu dan seterusnya ke bawah); keturunan saudara pewaris, keturunan paman pewaris, keturunan orang yang mengadakan perjanjian mewaris.
Mawali dalam konsep Hazairin sama dengan ahli waris pengganti dalam hukum perdata Barat (BW) dan hukum adat.
Dari tiga kelompok ahli waris di atas, Hazairin lebih lanjut membagi para ahli waris berdasar kelompok keutamaannya ke dalam empat (4) kelompok. Selama kelompok keutamaan pertama ada maka kelompok keutamaan kedua, ketiga, dan keempat tidak berhak mendapat warisan. Dengan demikian kelampok keutamaan kedua baru berhak mendapat warisan apabila kelampok keutamaan pertama sudah tidak ada, demikian seterusnya. Empat kelompok keutamaan tersebut yaitu:

Keutamaan pertama:
1. Anak-anak: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-furud atau sebagai zawu al-­qarabat, beserta mawali bagi mendiang anak laki-laki dan perempuan.
2.  Orang tua (ayah dan ibu) sebagai zawu al-faraid
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid.

Keutamaan kedua:
1.  Saudara: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-faraid maupun sebagai zawu al-qarabat, beserta mawali bagi mendiang saudara/saudari
2. Ibu sebagai zawu al-faraid
3. Ayah sebagai zawu al-qarabat
4. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan ketiga:
1. Ibu sebagai zawu al-faraid
2. Ayah sebagai zawu al-qarabat
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan keempat:
1. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid
2. Mawali untuk ibu
3. Mawali untuk ayah


Cara Menghitung
0leh karena bagian para ahli waris itu berupa angka pecahan maka untuk menghitung berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan, ulama mawaris  membuat cara penghitungannya dengan memakai sistim Asal Masalah (اصل المسألة) atau KPT yaitu dengan mencari dahulu angka yang terkecil yang dapat dibagi habis oleh semua pecahan yang merupakan bagian para ahli waris. Sebagai contoh apabila ahli warisnya: seorang anak perempuan yang bagiannya 1/2, ibu bagiannya 1/6, isteri bagiannya 1/8, dan saudara sekandung yang bagiannya `asabah, maka Asal Masalahnya adalah 24, karena angka 24 adalah angka yang terkecil yang dapat dibagi habis oleh 1/2, 1/6 dan 1/8. Setelah diketahui berapa asal masalahnya selanjutnya dicari berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari asal masalah, dengan cara mengkalikan pecahan yang merupakan bagian ahli waris kepada asal masalah. Setelah itu kemudian dihitung berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan dengan cara mengkalikan bagian ahli waris dari asal masalah kepada jumlah harta peninggalan kemudian dibagi oleh asaI masalah. Atau bisa juga dicari dahulu nilai 1 bagian dari harta peninggalan, dengan cara harta peninggalan dibagi oleh asal masalah, maka ketemulah nilai 1 bagian.

Contoh cara menghitung

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 480.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 24 = 12
12 x $480.000 : 24=  $240.000
2. Ibu
1/6
1/6 x 24 =   4
  4 x $480.000 : 24=  $  80.000
3. Isteri
1/8
1/8 x 24 =   3
  3 x $480.000 : 24=  $  60.000
4. Seorang sdr. Skdg
'asabah
24 – 19  =   5 +
  5 x $480.000 : 24=  $100.000 +


                   24
                                  $480.000

Penyelesaian di atas menurut Sunni
Perhitungan di atas bisa juga diselesaikan dengan cara mencari dahulu nilai 1 bagian, maka penyelesaiannnya sebagai berikut :

Ahli Waris      
Bagiannya
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 480.000 penerimaannya


Nilai 1 bagian = $480.000 : 24 = $ 20.000
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 24 = 12
12 x $20.000 =  $240.000
2. Ibu
1/6
1/6 x 24 =   4
  4 x $20.000 =  $  80.000
3. Isteri
1/8
1/8 x 24 =   3
  3 x $20.000 =  $  60.000
4.Seorang sdr. skdg
'asabah
24 – 19  =   5 +
  5 x $20.000 =  $100.000 +


                   24
                          $480.000

Contoh penyelesaian menurut Sunni, Syi'i, dan Hazairin

Ahli warisnya: Seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, paman sekandung. Harta peninggalannya senilai Rp. 90.000.000,-
Menurut Sunni:
Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 Rp. 90.000.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 6 = 3
3 x Rp. 90.000.000 : 6= 45.000.000
2. Seorang cucu prp dari anak lk-lk
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 90.000.000 : 6= 15.000.000
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 90.000.000 : 6= 15.000.000
4. Seorang Paman sekandung
'asabah
6 – 5   =  1 +
1 x Rp. 90.000.000 : 6= 15.000.000
+


                6
                                Rp. 90.000.000

Menurut Syi'ah
Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
Rp. 90.000.000 penerimaannya
1.Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 6 = 3
3 x Rp. 90.000.000 : 4= 67.500.000
2.Seorang cucu prp dari anak lk-lk
Mahjub
-
-
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 60.000.000 : 4= 22.500.000 +
4. Seorang Paman sekandung
Mahjub
-



                4
                                Rp. 90.000.000
Perhitungan di atas disebut radd, mengembalikan sisa kepada ahli waris yang berhak menerima radd. Oleh karena anak prp dn ibu berhak menerima radd, maka asal masalah semula 6 diturunkan menjadi 4.

Menurut Hazairin

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 Rp. 90.000.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
Zawul qarabah
(menda-pat sisa)
1 bagian dari sisa
1 x Rp. 75.000.000 : 3= 25.000.000
2. Seorang cucu prp dari anak laki-laki
2 bagian dari sisa
2 x Rp. 75.000.000 : 3= 50.000.000
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 90.000.000 : 6= 15.000.000
4. Seorang Paman sekandung
mahjub
-



                1
                              Rp. 90.000.000

Penjelasan:
-        Cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai mawali dari anak laki-laki (ayahnya), ia mendapat bagian sebesar bagian ahli waris yang digantikannya (anak laki-laki). Dengan demikian anak perempuan dan anak laki-laki sebagai zawul qarabah menerima sisa setelah diambil bagiannya ibu 1 bagian (Rp. 15.000.000), kemudian diabagi antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan pembagian  untuk 1 anak laki-laki 2 bagian, dan untuk 1 anak perempuan 1 bagian.
-        Ibu  sebagai ahli waris dari kelompok keutamaan pertama sebagai zawul furud mendapat 1/6 bagian
-        Paman mahjub karena ia dari kelompok keutamaan keempat sebagai mawali bagi ayah.

 

Beberapa istilah yang perlu diketahui:
- Kasrun (كـثر) adalah bilangan pecahan, seperti 2/3, 1/3, 1/6, 1/8 dll.
- Bastun (بسط) pembilang, yaitu angka yang atas dalam satu bilangan pecahan, angka 2 dalam pecahan 2/3
- Maqam (مقام) penyebut, yaitu angka yang bawah dalam satu bilangan pecahan, angka 3 dalam pecahan 2/3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar