FIQH MU’AMALAH
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Syari’ah
Syari’ah Luas = keseluruhan
ajaran Islam yang berupa norma-norma
Ilahiyah yang mengatur = 1. tingkah laku batin
2.
tingkah laku konkrit (individual dan
kolektif) sama dengan ad-Din=asy-Syura:13
Sempit= norma-norma
yang mengatur sistem tingkah laku konkrit baik individual maupun kolektif. Dan
arti sempit ini yang umum dipakai. Maka jika menyebut “Syari’ah” seperti yang
disebut UU no. 7 th. 1992 tentang perbankan, kemudian diubah oleh UU no. 10
th.1998 Syari’ah= hukum
Islam.
B. Seluk beluk
Fiqh
1. Obyek kajian. Klasik = Mengkaji hukum-hukum syari’ah
yang disimpulkan dari dalil-dalilnya berupa teks al-Qur’an dan al-Hadis.
Al-Gazali= Ahli hukum mengambil satu sisi tertentu, yaitu tingkah laku
subyek hukum yang diselidikinya dalam kaitan dengan diktum hukum.
Ilmu normatif murni=
teks
Problem ilmu
fiqh
Ilmu perilaku= empirik
Analisis
teks atau
Konsekuensinya,
analisis fiqh
Analisis tingkah laku
Namun berdasarkan konsep al-Gazali, dapat
dikembangkan metode kajian fiqh
yang
disebut : Sui generis – kum empiris.
2.
Lingkup Fiqh Ibadah Uqubah (hudud,
jinayah)
Mu’amalah Munakahat
Siyasah
Mu’amalah Ijtima’iyah
Iqtisadiyah
Hukum
= mengatur tingkah laku manusia sesuai dg citra Islam
3.
Fungsi Fiqh
Norma = memberikan legitimasi ataupun
larangan tertentu dengan
Dengan konteks spiritual.
Fungsi ganda fiqh apabila ditinjau dari
sudut sosiologi hukum, memberikan ciri spesi-
fik hukum Islam.
a. sebagai
hukum= Fiqh tidak lepas dari pengaruh sosial budaya yang hidup di
sekelilingnya. Maka dari segi ini ia adalah manifestasidari proses
adaptasi pikiran/id
manusia dan
sistem lingkungan kultural masyarakat dengan kehendak Allah.
b.Sebagai
norma= ia memberikan arti bahwa intervensi ide dan ketetapan Tuhan tidak
bisa
dihindari dalam pembentukannya.
HARTA (AL-MAL)
A. Pengertian :
كلّ
ما يمكن حيازته و احرازه والانتفاع به
على وجه معتاد.
Inti makna harta adalah : a. dapat disimpan
untuk dimiliki b. dapat
dimanfaatkan c. dalam kondisi normal.
B. Problem :
1. sesuatu belum bisa
dimiliki dan dimanfaatkan tetapi bisa diwujudkan untuk dimiliki dan
dimanfaatkan. Apakah
disebut harta?
2. Tidak bisa dimiliki tetapi bisa dimanfaatkan.
3. Bisa disimpan tetapi tidak dapat dimanfaatkan dalam kondisi
normal.
C. Secara fungsional, harta memperlakukan
orang lain
tidak berwenang terhadap harta itu
kecuali ada ijin dari pemilik
umum
Hak atas harta bagi perorangan diperoleh
melalui : usaha
Warisan
Wasiat
Hibah
Pinjaman
E. Kedudukan : bisa menjadi nikmat atau
fitnah
انما اموالكم
و أولادكم فتنة و الله عنده أجر عظيم.
(at-Taghabun
: 15-16).
F. Macam-macam harta:
mutaqawwim
1. Dilihat dari sudut perlindungan dan
pemanfaatan
mutaqawwim= bernilai halal
dapat dimanfaatkan
dapat dimiliki
Konsekuensi hukum dari pembagian
tersebut:
Mal ghairu mutaqawwim tidak bisa dijadikan obyek
transaksi
Tidak
berakibat adanya ganti rugi = ttp tdk mutlak
manqul (harta
bergerak)
3. Dilihat dari segi padanan
harta sejenis di pasaran
ada dua macam misli= biasanya ditimbang
ditakar
diukur
dihitung
qimi = sesuatu yang sulit didapat padanannya di pasaran
Cara ganti rugi misli= dengan mengganti harganya atau
barang yang sama
4. Dilihat dari segi pemanfaatannya isti’mali dapat diambil manfaatnya berkali-
kali dengan tidak menimbulkan perubahan dan kerusakan zat- tidak berkurang
nilainya.
Istihlaki Harta yang menurut kebiasaan hanya
dapat dipakai dengan menimbulkan kerusakan zat dan berkurang nilainya.
Istihlaki haqiqi = benar-benar habis sekali
pakai
Huquqi = secara hukum bersifat habis sekali pakai, meskipun
bendanya masih utuh.
Konsekuensi hukum dalam obyek transaksi:
Isti’mali = dapat dijadikan obyek akad
yang dapat mendatangkan keuntungan material
Contoh : ijarah
Istihlaki dalam
ijarah = mentasharufkan manfaat barang untuk tujuan tolong menolong ariyah pengambilan manfaat tanpa imbalan.
5. Dilihat dari segi peruntukannya khusus
(pribadi)
umum (masyarakat)
HAK
( AL-HAQ)
A. Pengertian : secara harfiyah: 1.
ketetapan:
لقد حقّ
القول على أكثرهم.. 7 :
Yasin4
2. menetapkan : al-Anfal : 8 ليحقّ الحق و يبطل الباطل ...
3. kebenaran : Yunus : 35 قل الله يهدي للحق ...
B. secara istilah : menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa :
1. Himpunan kaidah dan nas-nas syari’ah yang harus dipatuhi untuk
menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan dengan perorangan maupun
harta benda.
2. Kewenangan atas sesuatu, atau sesuatu yang wajib atas seseorang
untuk orang lain.
C. Analisis :
1. poin B1: menekankan fungsi syari’ah atau aturan hukum, sebagai
sumber rujukan hak. Oleh karena itu definisi tersebut baru berbicara tentang
sumber, dan belum menggambarkan substansi hak.
2. Poin B2 ada 2 substansi
hak :
a. hak sebagai
kewenangan atas sesuatu (hak aini)
hak penguasaan atas benda –
harta perwalian – atas harta dan lain-lain.
b. hak sebagai keharusan atau
kewajiban pada pihak lain (hak syakhshi). Contoh : hak istri – hak anak (sumber
dari syara’)
hak buruh atas upah – hak pelunasan hutang – hak yang timbul
dari akad jual beli – sewa
menyewa (sumber dari akad)
D. Hak dan
Iltizam
Pemilik hak atau shahibul haq :
multazam lahu.
3. Dalam akad mu’awadlah (saling menerima
dan melepaskan), hak dan iltizam
berlaku pada masing-masing pihak. Contoh: a. Jual beli, penjual
berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haq (multazam lahu).
b. Ijarah (sewa menyewa) dan
lain-lain.
4. Sumber iltizam yang lain
a. Harta benda seperti penjual berkewajiban menyerahkan
barang kepada multazam lahu/pembeli. Pembeli menyerahkan uang.
b. Hutang orang yang berhutang harus
melunasi
c. Perbuatan, seperti buruh berkewajiban melakukan
pekerjaan tertentu. Peminjam barang =
mengembalikan barang/ harganya.
1. Hak milik Pemilik mempunyai kewenangan untuk menggunakan –
mengambil manfaat, sepanjang tidak menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
2. Haq al-intifa' = memanfaat kan
harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara’ ada 5 sebab :
I’arah -
ijarah - waqaf – wasiat bil
manfaah – ibahah.
3. Haq
al-irtifaq = hak berlaku atas sesuatu benda tidak bergerak untuk kepentingan
benda tidak bergerak milik pihak lain.
a. Haq asy-Syurbi
= hak untuk memanfaatkan air untuk kepentingan pengairan tanaman/ hewan/ air
minum.
b. Haq al-majra = hak menggunakan tanah tetangga untuk
mengalirkan air dari sumbernya.
c. Haq al-masil = hak memanfaatkan tanah orang
lain untuk menyalurkan limbah keluarga
ke tempat pembuangan.
d. Haq al-murur = hak
melewati tanah orang lain
e. Haq al-jiwar = hak
tetangga yang dindingnya bersebelahan atau bersatu
f. Haq at-ta’ali
= hak tetangga pada rumah susun yaitu atap bangunan yang di bawah menjadi
lantai bagi bangunan di atasnya.
AKAD
(AL-‘AQDU)
A. Pengertian
1. Bahasa : Pertalian antara dua ujung
sesuatu (Musthafa Ahmad az-Zarqa’ dan Wahbah
az-Zuhaili). Kesepakatan (Abd. Ar-Razaq as-Sanhuri) al-Maidah : 5
2.
Istilah : Pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
B. Rukun menurut jumhur fuqaha
2. Mahallu al-aqd : obyek
3. Shighah al-aqd (formula akad) :
ijab dan Qabul menurut
mazhab Hanafi rukun akad hanya : shighah al-aqd. Sedangkan menurut Musthafa
Ahmad az-Zarqa’, di samping 3 di atas, ditambah satu unsur lagi yaitu: maudlu’
al-aqd (kausa akad): tujuan akad
1. Aqidani memiliki kecakapan bertindak
hukum sempurna (ahliyah al-ada’ al-kamilah)
. Memiliki hak
Bermanfaat dan dapat me-
nimbulkan risiko kerugian
jual beli – persewaan – hutang piutang dan lain-lain.
Ahliyah dapat berupa melakukan akad menggantikan
orang lain (wakalah)
Mendapat kewenangan (wilayah)
an-Naqishah
b. Ahliyah
al-Ada’ (kecakapan bertindak hukum) Al-kamilah
Mumayyiz-berakal-
baligh sudah bisa dikenai kewajiban –
dapat melakukan tasharruf yang
bermanfaat dan dapat menimbulkan risiko.
2. Mahall al-Aqd (obyek) bermanfaat
dapat diserahterimakan dan dimiliki oleh ‘aqid diketahui
suci
3. Maudlu’ al-Aqd (tujuan akad/kausa
akad) diijinkan oleh
syara’
4. Shighah al-Aqd (formula akad ijab dan qabul)
lisan
a. dengan ungkapan yang jelas tulisan/isyarat
utusan
perbuatan mu’athah
lisan al-hal=
kondisi terten- tu
yang menunjukkan kepa- da suatu
ungkapan. Contoh: sese- orang menaruh barang di hadapan kita, kita diam saja.
Perbuatan tsb. Berarti : penitipan barang
atau kita berkenan dititipi barang.
b. persesuaian antara ijab dan qabul
c. mencerminkan kehendak masing-masing
pihak
d. dalam satu majlis.
Shahih
D. Akad dilihat dari segi pemenuhan
terhadap syarat dan rukun
ghairu shahih
E. Akad dilihat dari segi maksud dan
tujuannya:
1. akad
tamlik ada 2 : mu’awadlah (dg imbalan)
dan tabarru’ (tanpa imbalan)
2. akad isqath =
pengguguran hak, seperti pengguguran hutang
3. akad ithlaq = penyerahan suatu urusan dalam
tanggung jawab orang lain
wakalah – tauliyah (penyerahan kuasa)
4. akad taqyid = mencegah orang
lain bertasharruf, seperti : pencabutan kewenang-
an pengampuan
5. akad tautsiq =
pertanggungan/penjaminan
kafalah – rahn – hawalah
6.
akad isytirak = persekutuan modal
7. akad hifzh =
penjagaan/penyimpanan wadi’ah
AL-BAI’
(JUAL BELI)
Khusus : بيع العين بالنقد
A. Pengertian : menurut mazhab Hanafi
umum :مبا د لةالمال بالمال
المتقوّم
المال
نقد ذات
B. Dalil :
...وأحلّ الله البيع و
حرّم الربا (البقرة : 275)
عن رافع بن خديج أنه قال : يا رسول الله أي الكسب أطيب ؟ قال
عمل المرء بيده و كل بيع مبرور. رواه أحمد.
أطيب : أحلّ و
أبرك. مبرور : ما خلا من الحرام و الغشّ
.
أقسام البيع عند الحنفية
C. (Sistematika Jual Beli Mazhab Hanafi)
صحيح
1. Dilihat dari segi sifat
غير صحيح
مطلق
2. Dilihat dari shighah
غير مطلق
مقايضة
3. Dilihat dari kaitannya dengan barang yang
dijual
صرف
سلم
مطلق
مرا بحة
4. Dilihat dari segi harga
تولية
وضيعة
مسا ومة
Penjelasan :
1. Akad shahih :
akad yang memenuhi rukun dan syaratnya
batil
Akad ghairu shahih
: akad yang kehilangan salah satu rukun atau syaratnya fasid
makruh
Contoh akad makruh بيع سوم على سوم غيره – البيع على بيع غيره
تلقى الجلب- البيع لغير أهل البلد بيع النجش
2.
Akad muthlaq : akad yang tidak dikaitkan dengan ta’liq dan idlafah
Akad ghairu
muthlaq : kebalikan di atas.
3. a. Al-muqayadlah : barter
b. Ash-sharf : 1). harus seimbang jenis dan nilainya
2) secara tunai
3). bisa diserahterimakan pada waktu akad
c. As-salam : pesanan Al-muthlaq : menjual barang dengan uang
4. a. Murabahah : menjual barang dengan
keuntungan disertai syarat-syarat tertentu
b. Tauliyah : harga jual sama dengan
harga beli
c. Wadli’ah : harga jual lebih rendah
dari harga beli
d. Musawamah : harga jual
tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli
5. Jual beli sekali jadi (tidak ada khiyar)=بيع البتّ Akad jual beli yang di dalamnya ada syarat yakni kapan penjual
mengembalikan
harga, maka
pembeli mengembalikan barang yang dibeli = بيع الوفاء
D. RUKUN JUAL BELI
Shighah ‘Aqidani Ma’qud ‘alaih
Shighah : sesuatu yang menunjuk kepada kerelaan
kedua belah pihak
Lisan Perbuatan tulisan/isyarat utusan
Syarat shighah dengan lisan :
1.Ijab dan qabul berhubungan
2.Ijab dan qabul menunjukkan kerelaan
3.Ijab dan qabul tidak disangkutkan kepada urusan
lain
4.Ijab dan qabul tidak disangkutkan dengan
waktu
Syarat shighah
dengan perbuatan : harga barang sudah
diketahui
Syarat shighah dengan tulisan/isyarat :
1. Kedua belah pihak saling berjauhan tempat
2. Atau tidak bisa bicara
Syarat shighah melalui utusan : harus
langsung dilaporkan kepada pihak yang mengutus
Syarat ‘aqidani :
1. Berakal-baligh 2. kehendak sendiri 3. bukan pemboros
Syarat ma’qud ‘alaih :
1. Suci
2. ada manfaatnya 3. kepunyaan
yang menjual/yang diwakilinya 4. dapat
diserahterimakan 5. diketahui oleh si penjual/pembeli baik
zat-bentuk-kadar dan sifat.
KHIYAR
A. Pengertian :
طلب
خير الاّمرين من الامضاء أو الالغاء
B. Hikmah :
1. Untuk kemaslahatan kedua
belah pihak
2. Untuk menghindari
penyesalan
3. Untuk melanggengkan
persaudaraan, sehingga tidak terjadi permusuhan dan
pertentangan.
C. Ada dua hal sahnya khiyar
akad:
1. Adanya kesepakatan penjual
dan pembeli dengan cara-cara tertentu
2. Barang yang cacat wajib
ditolak
D. Macam-macam Khiyar :
1. Khiyar syarat
2. Khiyar ru’yah
3. Khiyar aib
4. Khiyar majlis
1. Khiyar Syarat :
a. Pengertian : Penjual dan pembeli atau salah seorang dari keduanya
mensyaratkan khiyar untuk menetapkan akad atau membatalkannya. Boleh juga
mensyaratkan khiyar bagi pihak ketiga.
b. Dalil :
عن ابن عمر أن النبى ص.م. قال : كل بيّعين لا بيع بينهما حتى
يتفرّقا إلا بيع الخيار .
... أنت بالخيار فى كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال رواه البخارى و مسلم
c. Pendapat ulama :
1) Abu Hanifah dan asy-Syafi’i : syarat khiyar 3 hari tidak boleh
lebih
2) Imam Malik : disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan
3) Ahmad : masa
khiyar harus jelas batas waktunya. Misalanya : 1 minggu, 1 bulan dan sebagainya.
2.
Khiyar Ru’yah :
a. Pengertian : Pembeli yang belum melihat barang yang
dijual, apabila kemudian
melihatnya, boleh memilih untuk menetapkan atau membatalkan akad.
Sekalipun sudah mengiyakan untuk membeli barang sebelum melihat barangnya.
b. Khiyar ru’yah hanya berlaku bagi pembeli.
c. Dalil :
من اشترى شـئا لم يره فهو بالخيار إذا
رآه رواه الدارقطنى.
d. Pendapat ulama :
1) Asy-Syafi’i : tidak sah akad sebelum melihat obyek,
karena adanya ketidakjelasan barang yang dijual.
2) Malik – Ahamad dan
kebanyakan pengikut asy-Syafi’i : sah
3) Sebagian
fuqaha : khiyar ru’yah dibatasi waktu, yaitu waktu yang memung- kinkan adanya pembatalan, setelah melihat barang
yang dijual. Jika sudah cukup waktu yang memungkinkan pembatalan, maka batal
adanya khiyar ru’yah , agar tidak merugikan penjual.
3. Khiyar Aib :
a. Pengertian : Pembeli
boleh mengembalikan barang yang dibeli apabila ada cacat.
Cacat itu bisa terjadi karena : a) tidak tahu b) penjual tidak menjelaskan adanya cacat.
b. Dalil :
عن عقبة بن عامر قال : سمعت رسول الله ص. م. يقول المسلم أخو
المسلم لا يحلّ لمسلم باع من أخيه مبيعا و فيه
عيب إلا بيّنه. رواه أحمد -
ابن ماجه – الدار قطنى .
من غشّنا فليس منّا .
d. Masa khiyar : 3 hari.
e. Hukum jual beli yang disertai cacat
barang
1) Jika akad
telah sempurna dan pembeli meng etahui adanya cacat barang, maka akad
itu sudah
tetap dan tidak ada khiyar, karena sudah jelas adanya kerelaan.
2) Jika pembeli
belum mengetahui, kemudian mengetahui setelah akad, maka akad ini
sah tetapi
belum tetap. Baginya ada khiyar antara mengembalikan barang atau tetap
memilikinya
dengan meminta pengembalian uang sebesar cacat yang ada pada
barang.
Kecuali merelakan adanya cacat.
3) Kaidah
fiqh : الخراج
بالضمان
Maksudnya : Berhak mendapatkan hasil, disebabkan
karena keha rusan mengganti kerugian. Contoh: apabila batal sebuah akad, karena
ternyata barang yang telah dibeli terdapat cacat. Maka barang itu dikembalikan
kepada pen jual dan diambil uangnya. Jika barang itu telah dimanfaatkan/memberi
manfaat, maka itu menjadi milik pembeli. Karena ia telah mengeluarkan biaya.
Seba b adanya khiyar aib
1) Adanya cacat menyebabkan berkurangnya harga
2) Cacat terjadi sejak barang masih di tangan penjual
3) Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika terjadi akad
4) Penjual tidak menjelaskan cacat barang pada saat akad ]
5) Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak
bertanggung jawab terha
dap cacat yang ada. Jika
ada kesepakatan, maka hak khiyar pihak pembeli menjadi
gugur.
4. Khiyar Majlis :
a. Pengertian :
Penjual dan pembeli boleh memilih antara melangsungkan akad atau
membatalkannya, selama keduanya masih di tempat jual beli.
b. Menurut
asy-Syafi’i, Ahmad : Khiyar majlis boleh pada semua jual beli – hawalah – ijarah dan pada setiap akad timbal balik
yang berorientasi harta. Dan tidak berlaku pada akad Perkawinan – Mudlarabah –
Syirkah dan wakalah.
c. Dalil :
عن حكيم بن حزام أن البى صزم. قال :
البيّعان بالخيار ما لم يتفرّقا . رواه البخارى
d. Abu Hanifah dan Malik : bagi penjual
dan pembeli tidak diakui adanya khiyar
majlis.
SALAM DAN ISTISHNA’
1. Salam atau Salaf = Jual beli
barang secara tangguh dengan harga yang dibayarkan di muka.
2. Istishna’ =
Akad dengan pihak perajin atau pekerja untuk
mengerjakan suatu produk barang tertentu, materi dan biaya produksi menjadi
tanggung jawab pihak perajin. (jika
materinya berasal dari pemesan, berlaku akad ijarah).
B. Menurut Fuqaha Hanafiyah :
1. Akad istishna’ bersifat
tidak luzum (tidak mengikat kedua pihak).
2. Masing-masing pihak
mempunyai hak khiyar.
3. Hak khiyar perajin berakhir
ketika ia mendatangkan produk kepada pemesan
4. Pemesan mempunyai hak
khiyar ru’yah.
C. Secara
prinsip akad salam = akad istishna’,yakni sama-sama tergolong bai’al-ma’dum segi perbedaannya adalah
:
1. Obyek salam bersifat ad-dain
(tanggungan), sedang obyek istishna’ bersifat al-‘ain (benda).
2. Akad salam dibatasi dengan
waktu yang pasti, hal ini tidak berlaku pada akad istishna’ (Hanafiyah).
3. Akad salam bersifat luzum, akad
istishna’ tidak bersifat luzum (Hanafiyah).
4. Harga pokok dalam akad salam
harus dibayarkan secara kontan dalam majlis akad. Tidak demikian dalam akad
istishna’ (Hanafiyah). Sedang jumhur,
akad keduanya harus dibayar tunai ketika akad berlangsung
D. Syarat Akad Salam
Barang
pesanan dinyatakan secara jelas :
1. Jenisnya 2. Sifatnya 3. ukurannya
4. Batas waktunya 5. harganya 6. Tempat penyerahan.
E. Syarat-syarat yang Masih Diperselisihkan :
1. Harga pokok harus dibayarkan di muka dalam majlis
akad sebelum keduanya
berpisah. Jika
tidak, maka akad salam menjadi batal, karena tidak sama dengan
pengertian dan
tujuan salam.
a. As-Salaf =
pembayaran di muka
b. As-Salam = penyerahan
harga
c. Tujuan = meringankan
biaya
2. Barang yang
dipesan harus bersifat dain
Hanafiyah-Malikiyah-Hanabilah,
jika
penyerahan barang secara kontan= batal akad salam. Tidak demikian menurut
asy-Syafi’i.
3. Barang
yang dipesan harus selalu tersedia di pasaran sejak akad berlangsung sampai
tiba
waktu penyerahan, seperti: palawija – buah-buahan. Jika tidak tersedia, tidak
boleh dilakukan akad salam Hanafiyah – Malikiyah –
Syafi’iyah. Hanabilah=
tidak
mensyaratkan, karena yang terpenting, kemampuan menyerahkan barang
pesanan.
4. Harus ada
kejelasan tempat penyerahan barang, terutama jika penyerahannya
memerlukan biaya pengiriman. Hanafiyah – Malikiyah –
Syafi’iyah.
Hanabilah= tidak disyaratkan, karena penyerahan di tempat akad semula.
5. Barang
yang dipesan harus berupa al-misliyat (sesuatu yang biasanya bisa dihitung
ditakar – diukur – ditimbang) Hanafiyah – Syafi’iyah –
Hanabilah.
Malikiyah
= boleh barang al-qimiyah (sesuatu yang
tidak mudah diperoleh di pasaran),
yang dapat
dinyatakan dengan kriteria tertentu.
F. Syarat Istishna’ :
1. Obyek akad
harus dinyatakan secara rinci: jenis – ukuran – sifat = untuk menghilangkan
unsur jahalah dan gharar.
2. Produk yang
dipesan = hasil pekerjaan/kerajinan yang masyarakat lazim memesannya. Seperti :
sepatu, almari, jaket, dan lain sebagainya.
3. Waktu pengadaan produk tidak dibatasi, Jika dibatasi
dengan waktu tenggang tertentu ia
menjadi akad salam.
AL-IJARAH
A. Pengertian secara bahasa : sewa/upah الكراء أو بيع
المنفعة
B. Pengertian secara istilah : Menurut
as-Sayid Sabiq :
عقد على منفعة
بعـــــــــــــــوض
Benda
Pekerjaan Orang
C. Istilah teknis :
مكر - آ جر – مؤجّــــــر – مؤجـــــــر =
مســــتأ جر =
أجـــــير =
أجرة و أجـــــر =
مأجــــــور =
D. Dalil :
1. Al-Qur’an =Az-Zukhruf (43) : 32
b. Al-Baqarah (2) : 233 c.
Al-Qasas (28) : 26-27 d. Ath- Thalaq
(65) : 6.
2. Al-Hadis : أعطــــوا الاجــــــير أجره قبل أن يجـــــفّ
عرقـــــــــــه رواه ابن
ماجـــــــــــــــــه
E.Rukun Ijarah :
1.
Aqidani 2. Obyek ijarah 3. Shighah
F. Syarat sahnya Ijarah
1. Kerelaan kedua belah pihak
(an-Nisa’ (4) : 29) .
2. Mengetahui dengan pasti akan
manfaat obyek
3. Manfaat yang dijadikan
obyek bisa dipenuhi
4. Obyek akad bisa
diserahterimakan dan mengandung manfaat
5. Manfaat itu harus mubah :
a. tidak boleh menyewa orang untuk membunuh orang lain
b. tidak boleh menyewa orang untuk membawa barang haram
c. tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat judi.
G. Ijarah (sewa-menyewa)
1. Manfaat suatu benda disyaratkan
:
a. Barang yang berharga/mempunyai nilai. Maksudnya bahwa
manfaat barang yang disewakan bisa
digunakan secara syar’i maupun adat.
b. Barang yang disewakan memungkinkan untuk diserahkan
kepada pe- nyewa.
c. Pengambilan manfaat barang yang disewakan tidak
mengurangi esensi barang itu sendiri.
d. Diketahui oleh kedua belah pihak, baik mengenai
barang itu, sifat , maupun jenis, dan
lain-lain.
2. Kewajiban mu’jir sebagai pemilik obyek,
antara lain:
a. Memelihara dan
bertanggung jawab atas kerusakan obyek sewa.
b. Memberikan hak
atas obyek sewa kepada musta’jir untuk memanfa-atkannya.
3. Kewajiban musta’jir sebagai
pengguna obyek sewa, antara lain :
a. Membayar sewa
sesuai kesepakatan
b. Memelihara obyek sewa
c. Mengembalikan
obyek sewa setelah habis waktu yang ditentukan di awal transaksi.
4.
Harga sewa.
a. Harga sewa berupa
= benda berharga (uang), atau jasa/manfaat.
b. Harga sewa harus
jelas; dan boleh dibayar di muka, kemudian, tunai,
ataupun diangsur
sesuai perjanjian.
c. Bila harga sewa
tidak disebutkan waktunya= dikembalikan kepada adat kebiasaan.
d. Bila syarat tidak ada, adat tidak= dikembalikan kepada hukum asal,
yaitu: imbalan diberikan setelah manfaat dinikmati.
5. Penggunaan dan Pembiayaan
a. Musta’jir berhak menggunakan barang sewa untuk menikmati manfaatnya,
sesuai dengan kebiasaan penggunaan barang sewa tertentu.
b. Musta’jir bisa dituntut ganti rugi atas kerusakan barang, bila rusak
akibat penggunaan yang melampaui kapasitas.
c.Mu’jir mengeluarkan
biaya untuk pemeliharaan atau perbaikan kerusakan barang sewa.
d.Bila musta’jir
mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan/perbaikan atas kerusakan barang sewa
dengan seijin mu’jir, maka ia berhak minta ganti rugi. Dan tidak berhak jika
tanpa ijin, kecuali dalam kondisi mendesak yang tidak mungkin meminta ijin
mu’jir, maka boleh minta ganti rugi.
a. Masa yang diperjanjikan habis, maka barang
sewa harus dikembalikan
b. Mu’jir berhak
membatalkan perjanjian, bila pihak musta’jir memperla-
kukan barang sewa
tidak semestinya.
c. Barang sewa
mengalami kerusakan yang tidak memungkinkan lagi dipergunakan sesuai dengan fungsinya.
d. Menurut mazhab
Hanafi, perjanjian terhenti karena kematian salah satu pihak. Tidak demikian menurut
Imam Malik - asy-Syafi’i, bahwa
perjanjian terus berlangsung oleh ahli waris sampai waktu yang ditentukan.
H. Ijarah (upah-mengupah)
1. Macam-macam
Ajir :
a.
Ajir khas : Orang yang mencari upah untuk melakukan pekerjaan ter-
tentu, dalam waktu tertentu, bagi seseorang/beberapa orang tertentu, dengan
syarat hanya akan bekerja khusus untu mereka. Seperti: PRT – Pegawai Negeri dan
sebagainya.
Maka ajir khas tidak
dibenarkan bekerja untuk orang lain dalam waktu masih terikat dalam perjanjian,
kecuali jika diijinkan.
b. Ajir
Musytarak : Orang yang mencari upah, untuk mengerjakan pe- kerjaan tertentu,
tanpa syarat khusus bagi seorang/beberapa orang tertentu. Contoh: Penjahit, Dokter, Bengkel,
Pengacara dll.
2. Harga Upah.
a. Harga upah berupa = benda
berharga (uang), atau jasa/manfaat.
b. Harga
upah harus jelas; dan boleh dibayar di
muka, kemudian, tunai,
ataupun
diangsur sesuai perjanjian.
c. Bila harga
upah tidak disebutkan waktunya=
dikembalikan kepada adat kebiasaan.
d. Bila syarat tidak
ada, adat tidak= dikembalikan kepada hukum asal, yaitu: imbalan diberikan
setelah manfaat dinikmati.
3. Obyek Perjanjian Kerja
. a. Ajir Khas : Jasa yang
diberikan dalam waktu yang disebutkan dalam perjanjian. Atau diri pribadi ajir
dan waktunya. Oleh karena itu, ajir khas berhak atas upah yang disetujui, bila
telah datang menyerahkan diri kepada muajjir dalam waktu yang telah
ditentukan, meski pada waktu itu tidak ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Maka
upah bagi ajir khas titik beratnya pada waktu yang diberikan kepada muajjir
(majikan), bukan pada pekerjaan yang dikerjakan.
b. Ajir Musytarak :
Pekerjaan dan hasilnya. Maka hak atas upah,
titik beratnya pada jasa, bukan pada diri pribadi dan waktu. Masalah
waktu bukan faktor mutlak dalam perjanjian, kecuali jika disebutkan dalam
perjanjian.
4. Perwakilan dalam Perjanjian Kerja
a. Ajir Khas : Tidak boleh menyerahkan pekerjaan
kepada orang lain. Sebab perjanjian
tertuju kepada prestasi ajir, tidak semata-mata kepada macam pekerjaan.
b. Ajir Musytarak : Jika
tidak ada syarat dalam perjanjian harus dikerjakan oleh orang tertentu, ajir dapat mewakilkan
kepada orang lain atas tanggung jawabnya. Sebab, obyek dalam perjanjian adalah
pekerjaan yang dimaksud.
5. Risiko Kerusakan Barang
a.
Barang di tangan ajir khas = amanah. Maka bila ada kerusakan, ajir khas
tidak dibebani risiko apapun. Kecuali jika rusak karena kesengajaan atau
kelalaian.
b. Kerusakan
barang di tangan ajir musytarak ada 2 kemungkinan:
c. Akibat perbuatan sendiri=
sengaja/tidak sengaja: harus mengganti.
d. Akibat perbuatan orang lain, jika dapat
dihindari= maka ketika mengalami kerusakan, ia harus mengganti. Jika tidak
dapat dihindari, kemudian mengalami
kerusakan, tidak dibebani ganti rugi.
6. Berakhirnya Perjanjian Kerja
a. Masa yang diperjanjikan habis.
b.
Tidak mampu lagi menjalankan fungsinya
c.
Pemutusan hubungan kerja dan lain-lain.
PERSEKUTUAN MODAL
(الشركة)
A.
Pengertian bahasa : Percampuran (al-ikhtilath)
Pengertian Istilah
: Menurut ulama Hanafiyah :
عقد بين المتشاركين فى رأ س المال و الربح .
B. Dasar Hukum
:
1. Al-Qur'an :
- فهم شركاء فى الثلث. (النساء : 12 )
- و إن كثيرا من الخلطا ء ليبغى بعضهم على بعض إلا الذين آمنوا و عملوا
الصالحات و قليل ما هم
( ص : 24 )
2.
As-Sunnah :
- أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحد هما صاحبه فإن خان أحد
هما صاحبه خرجت من بينهما
رواه أبو داود .
C. Rukun Syirkah : Ijab dan Qabul
D. Syarat – syarat :
1. Bersatunya majlis ijab dan qabul
2.
Masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian berkecakapan untuk menjadi wakil
atau mewakilkan
3. Obyek akad adalah hal-hal yang dapat
diwakilkan
4. Bagian
keuntungan untuk masing-masing anggota merupakan bagian dari keseluruhan
keuntungan yang ditentukan kadar persentasenya. Seperti: 1/2 – 1/3 – 1/4,
dan
E. Macam-macam Syirkah:
1. Syirkah milik : Ikhtiyariyah dan Jabriyah
/ Idltirariyah
a. Ikhtiyariyah:
Terjadi atas keinginan masing-masing pihak
bersangkutan dengan suka rela. Contoh: beberapa orang bersekutu membeli sebuah
rumah untuk tempat tinggal bersama.
b.
Jabriyah/idltirariyah : Terjadi tanpa keinginan
masing-masing pihak bersang- kutan, tetapi terjadi dengan kekuatan hukum.
Contoh : persekutuan para ahli waris memiliki harta warisan sebelum
dibagi.
2. Syirkah Akad amwal (harta) : 'Inan dan Mufawadlah
a'mal (pekerjaan)
wujuh (kepercayaan)
a. SYIRKAH AMWAL 'INAN
Syarat – Syarat
1) Modal berupa uang
2) Modal harus diwujudkan berupa uang tunai seluruhnya. Bukan berupa
piutang dan tidak boleh
hanya tunai sebagian saja.
Obyeknya : Modal dan keuntungan.
Dalam praktek syirkah 'inan :
tidak ada syarat harus sama dalam :
1) Besar kecilnya modal
2) Hak bertindak terhadap
harta syirkah masing-masing anggota.
3) Keuntungan.
Dalam 'inan dibolehkan :
1) Salah
seorang anggota syirkah bertanggung jawab atas nama syirkah
2) Laba boleh sama/tidak sama sesuai
dengan kadar tanggung jawab atau
besar kecilnya modal.
3) Sebagian bekerja sementara yang lain tidak, ini
berpengaruh terhadap
penerimaan
keuntungan yang diperoleh masing-masing.
Pandapat ulama : semua ulama membolehkan.
b. SYIRKAH AMWAL
MUFAWADLAH
Syarat harus sama dalam :
1) Modal
2) Hak melakukan tindakan hukum (anggota adalah
penanggung bagi tindakan anggota lain, juga wakil dari anggota lain)
Pendapat
ulama : ulama yang membolehkan : mazhab Hanafi dan Maliki. Tetapi
pengertian menurut mazhab Maliki berbeda dengan pengertian di atas.
Yaitu :
a)
Masing-masing anggota menyerahkan kepada anggota lain hak bertindak atas nama syirkah.
b)
Modal
tidak harus sama besar.
c. SYIRKAH A'MAL
kerajinan/industri (ash – shinai')
Bentuknya bisa berupa tenaga (abdan)
Penerimaan pekerjaan (taqabbul)
Pendapat ulama :
1) Mazhab Hanafi : boleh/sah.
a) Tanpa syarat pekerjaan hanya satu macam
b) Tanpa syarat semua
anggota harus ikut bekerja
c) Tanpa syarat upah harus
sama.
2) Mazhab Maliki : boleh/sah. Dengan
syarat pekerjaan hanya satu macam.
3) Mazhab Syafi' : menolak syirkah a'mal.
Kedudukan para anggota :
Masing-masing anggota menjadi wakil anggota lain, dan juga sebagai
penanggun
terhadap terlaksananya pekerjaan
anggota lain. Setiap anggota
bisa dituntut
memenuhi pekerjaan yang telah menjadi
persetujuan.
Syarat :
a) Macam pekerjaan harus jelas
b) Upah bagi masing-masing anggota harus
ditentukan
Risiko :
Menjadi
tanggungan seluruh anggota yang disesuaikan dengan bagian upah masing- masing.
d. SYIRKAH WUJUH
1)
Pengertian :
Persekutuan antara dua orang atau lebih tanpa modal harta, untuk
membeli barang-barang dengan
pembayaran harga yang ditangguhkan. Kemudian menjual barang-barang itu, yang keuntungannya dibagi
di antara para anggota.
2) Modal
: kepercayaan
3)
Pendapat ulama :
a) Mazhab Hanafi dan Hanbali : membolehkan
b) Imam Malik – asy-Syafi'i - mazhab Zhahiri : menolak.
4) Syarat :
a)
Mazhab Hanafi : Besar kecilnya keuntungan disesuaikan dengan perbandingan berat ringannya tanggungan masing-masing
terhadap barang yang mereka beli.
b) Mazhab
Hanbali : tanpa memperhatikan berat ringannya tanggungan par
anggota
terhadap barang yang mereka beli.
F. BERAKHIRNYA SYIRKAH AKAD :
1. Salah satu
pihak membatalkan, meskipun tanpa persetujuan teman sekutunya. Sebab
syirkah
akad terjadi atas kerelaan kedua belah pihak yang tidak harus dilaksanakan
bila salah
satu pihak tidak menginginkan lagi.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan
bertindak.
3. Salah satu
pihak meninggal dunia. Jika anggota lebih dari 2 orang, yang batal hanya bagian anggota yang meninggal saja. Namun
jika ahli waris anggota yang meninggal menghendaki ikut dalam syirkah, dapat
dilakukan dengan perjanjian baru.
4. Salah satu pihak dinyatakan jatuh pailit.
5. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum
dibelanjakan atas nama syirkah.
MUDLARABAH
(المضاربة)
المضاربة مشتقة من الضرب بمعنى : السفـــــــــــــــر.
Karena
perniagaan biasanya dilakukan dengan cara melakukan perjalanan.
Disebut
pula dengan istilah :
القراض \ المقارضــــــــة. مشتقة من
القرض و هو القطـــع .
Karena
pemilik modal memotong bagian dari hartanya, agar dijalankan oleh pelaku modal
dengan mendapat bagian keuntungan. Begitu juga pelaku modal (mudlarib) telah
memotong bagian keuntungan pemilik modal (shahib al-mal/investor).
A. Pengertian istilah :
Perjanjian persekutuan antara
dua orang/lebih. Pihak pertama memberikan modal uang dan pihak kedua menjalankannya untuk
berdagang, dengan ketentuan keuntungannya dibagi sesuai dengan persetujuan yang
mereka adakan. Seperti : 30 % : 70 %,
dan sebagainya.
B. Dalil:
Al-Qur'an tidak secara langsung
menunjuk kepada praktek mudlarabah, meskipun berasal dari akar kata d – r – b yang disebut tidak kurang dari 58
kali, antara lain 2 : 273; 3 :
156; 4
: 101; 5 : 106;
73 : 20. Ayat – ayat al-Qur'an yang dipertalikan
kepada mudlarabah menunjukkan pengertian "safar" atau perjalanan
untuk suatu tujuan pernia- gaan. Praktek
ini diklaim bahwa Nabi dan beberapa orang sahabat pernah terjun dalam
usaha-usaha mudlarabah (As-Sarakhsi, al-Mabsut, XII :
18; Ibn Qudamah, al-Mughni,
V :
26). Menurut Ibn Taimiyyah, para faqih menyatakan kebolehan praktek
mudlarabah, berdasarkan pada khabar yang dipertalikan kepada beberapa orang
sahabat, tetapi tidak ada Hadis yang otentik tentang mudlarabah yang
dipertalikan kepada Nabi (Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, XXIX :
101). Sementara Ibn Hazm mengatakan bahwa setiap bab dalam fiqh ada
dasarnya dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, kecuali mudlarabah. Menurut as-Sarakhsi
mudlarabah itu dibolehkan "karena manusia sangat membutuhkan kepada akad
ini". Ibn Rusyd memandang mudlarabah sebagai suatu konsesi khusus (Ibn
Rusyd, Bidayah al-Muj- tahid, II : 178). Meskipun mudlarabah tidak secara
langsung ditunjuk di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah, namun hal ini merupakan
tradisi yang disetujui dan dipraktekkan oleh kaum muslimin, dan merupakan
bentuk asosiasi perdagangan yang muncul terus-menerus sepanjang periode awal
Islam. Seperti arus utama kafilah dan perniagaan jarak jauh, (Qureshi, DM.,
"Mudlarabah and its modern application", hlm. 7 – 24).
C. Syarat sahnya Akad Mudlarabah
1. Modal harus diserahkan seketika
2. Jumlah modal harus diketahui dengan
jelas
3. Modal berupa uang tunai
4. Modal bukan barang jaminan yang harus
dipikul oleh mudlarib (pelaku modal)
5. Pembagian
keuntungan ditentukan berupa bagian tertentu dari seluruh keuntungan
yang
ada. Seperti 30 % - 50 % dan sebagainya.
6. Salah
satu pihak tidak boleh mengkhususkan bagian tertentu selain yang telah
menjadi
haknya.
7. Pekerjaan diserahkan kepada mudlarib
8. Tidak
boleh mengikat pelaku modal di dalam menjalankan modal. Abu Hanifah dan
Ahmad :
membolehkan, hal ini guna menjamin keselamatan modal pemiliknya.
9. Jangan menunda pelaksanaan mudlarabah.
D. Kedudukan
Mudlarib (pelaku modal)
Ia
sebagai wakil pemilik modal dan pemegang amanah atas modal. Jika modal rusak
atau musnah, ia tidak menanggung risiko kecuali karena sengaja atau lalai.
E. Rukun
Mudlarabah : al-'Aqidani - Modal
- Pekerjaan -
Keuntungan - Shighah.
F. Unsur –
unsur penting dalam Akad Mudlarabah
1. Modal (Capital)
Untuk menghindari adanya perselisihan,
akad mudlarabah seyogyanya menentukan jumlah modal yang jelas. Hal ini bisa
direalisasikan jika jumlah modal ditetapkan dalam satuan uang (Al-Jaziri,
al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba'ah, III : 43). Modal mudlarabah bukan merupakan
pinjaman yang dilakukan oleh mudlarib pada waktu akad mudlarabah. Tidak satupun
dari mazhab Sunni yang mengijinkan akad, kreditur meminta kepada debitur untuk
mengadakan mudlarabah dengan kesepakatan bahwa modal usaha berupa pinjaman yang
dilakukan oleh calon mudlarib kepada investor. Alasan ini muncul karena rencana
seperti ini pihak investor dapat dengan mudah menggunakan mudlarabah sebagai
alat untuk memperoleh hutang dan mengambil manfaat dari padanya. Pengambilan
manfaat dari hutang dipandang riba yang
dilarang hukum Islam. Menurut Ibn Rusyd, imam Malik tidak membolehkan perilaku
itu karena takut hal itu dapat menggiring kepada bentuk riba yang di praktekkan
pada masa pra-Islam (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II : 179). Jika pihak
debitur dalam kesulitan financial, kreditur dapat mengeksploitasi situasi
keputusasaan debitur. Dan dapat mendikte syarat-syarat yang tidak rasional
terhadap akad mudlarabah. Sementara debitur tidak punya pilihan apapun kecuali menuruti kemauan
kreditur. Untuk menghindari eksploitasi semacam itu, para faqih menutup
kesempatan ini bagi investor.
Investor harus menyerahkan modal
mudlarabah kepada mudlarib, agar akad
itu men- jadi sah (As-Sarakhsi, al-Mabsut, XXII : 84). Mudlarib bebas
menginvestasikan dan meng- gunakan modal sebagaimana tertuang di dalam
syarat-syarat akad mudlarabah yang secara umum menentukan tipe bisnis yang
dilakukan, waktu usaha, dan tempat di mana mudlarib dapat melaksanakan
bisnisnya.
2. Manajemen (Management)
Mudlarib memenej
mudlarabah sejak menurut pengertian ia menetapkan tugasnya sebagai modal usaha.
Mudlarib bebas dalam melakukan manajemen usaha dan segala yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan. Dalam mazhab Hanafi, boleh jadi merupakan mazhab yang
paling liberal dalam masalah ini. Mudlarabah itu ada 2 tipe, sejauh mengenai
kebebasan mudlarib di dalam manajemen mudlarabah. Yaitu mudlarabah tidak
terbatas dan mudlarabah terbatas.
Di dalam mudlarabah tidak terbatas, mudlarib benar-benar be- bas untuk
melakukan mudlarabah sebagaimana yang ia putuskan. a. Ia boleh melakukan
perjalanan (bisnis) dengan modal itu, b. memberikan modal kepada pihak
ketiga, atau bahkan c. melakukan kerjasama dengan pihak lain
(musyarakah). d. Mudlarib boleh mencampur modal mudlarabah dengan barang
miliknya (As-Sarakhsi, al-Mabsut, XXII : 39 – 40). e. Ia boleh juga
menggunakan modal untuk membeli macam barang apapun dari seseorang dan pada
waktu kapanpun. f. Ia boleh menjual barang-barang mudlarabah secara
tunai mapun kredit. g. Ia bebas untuk menyewa seseorang atau barang
dalam pelaksanaan mudlarabah, atau
memenej modal untuk kepentingan mudlarabah yang ia pandang patut.
Sedangkan mudlarabah yang
terbatas, mudlarib boleh berdagang sesuai dengan kebiasaan pedagang
(As-Sarakhsi, al-Mabsut, XXII : 38 – 39). Intervensi investor dalam manajemen
mudlarabah akan menghalangi pelaksanaan mudlarib untuk meraih hasil yang
berdaya guna, sehingga hal yang demikian harus dihindari (Ibn Rusyd, Bidayah,
II : 179-180). Menurut Malik dan asy-Syafi"i, jika investor menetapkan
bahwa mudlarib seyogya- nya tidak membeli dari orang tertentu atau komoditi
tertentu, mudlarabah dipandang tidak berlaku (Ibn Qudamah, al-Mughni, V : 73).
Abu Su'ud, seorang
penulis kontemporer tentang bank Islam, mengatakan: Mudlarib harus memiliki kebebasan mutlak untuk
berdagang terhadap uang yang diberikan kepa- danya dan mengambil keputusan atau
langkah-langkah apapun yang ia pandang tepat untuk merealisasikan keuntungan
maximum. Syarat-syarat apa saja yang akan membatasi kebebas an atau perbuatan,
akan melemahkan validitas perbuatan itu (Abdullah Saeed, Islamic Banking and
Interest, p. 54).
3.
Masa Pelaksanaan (Duration)
Akad mudlarabah
seharusnya tidak memuat syarat yang menetapkan masa tertentu untuk berniaga.
Syarat seperti itu akan membuat akad menjadi batal, menurut mazhab Maliki dan
Syafi'i. Tetapi mazhab Hanafi dan Hambali membolehkan ketentuan yang demikian
itu, (Al-Jaziri, al-Fiqh 'ala al-Mazahib
al-Arba'ah, III : 41; Ibn Qudamah,
al-Mughni, V:69-70). Para ulama yang memegangi pandangan pertama beralasan
bahwa pembatasan waktu itu dapat membiarkan kesempatan baik lepas dari tangan
mudlarib atau merusak rencananya dan akibatnya tidak dapat merealisasikan
keuntungan dari pekerjaannya itu (Abdullah Saeed, Islamic Banking, p. 54).
Akad mudlarabah dapat dihentikan oleh
salah satu pihak dengan cara menginformasi- kan kepada pihak lain tentang
keputusannya itu. Hal ini dimungkinkan karena menurut Jumhur Fuqaha, mudlarabah
itu bukan merupakan akad yang mengikat (Ibn Rusyd, Bidayah, II : 181). Tidak
ada perbedaan pendapat kalau penghentian ini terjadi sebelum mudlarib mulai
melaksanakan mudlarabah. Asy-Syafi'i dan Abu Hanifah memegangi pendapat bahwa
meskipun setelah mudlarib memulai kerja, masing-masing pihak boleh menghentikan
akad ini. Tetapi Malik tidak membolehkan penghentian akad dalam hal seperti
itu. Ketika mudlarabah menjadi batal, karena alasan apapun, mudlarib hendaknya
memperoleh upah yang pantas atas kerja yang telah dilaksanakan dan ia
diperlakukan seakan-akan tidak pernah terjadi akad mudlarabah, tetapi akad ijarah
(sewa tenaga). Menurut peraturan
akad ijarah, ia harus dibayar karena pekerjaannya.
4. Jaminan
(Guarantee)
Investor tidak
diperkenankan meminta jaminan apapun dari mudlarib untuk mengembali- kan modal
atau modal dan keuntungan. Karena hubungan antara investor dan mudlarib adalah
hubungan fidusiari (wakil) dan mudlarib adalah orang yang dapat dipercaya,
jaminan sedemikian itu menjadi batal. Apabila investor meminta syarat jaminan
mudlarib dan menetapkannya sebagai peraturan akad, akad itu sah menurut Malik
dan asy-Syafi'i (Ibn Rusyd, Bidayah, II : 179).
5. Sharing Keuntungan dan Kerugian
(Profit and Loss Sharing)
Mudlarabah pada
dasarnya merupakan perkongsian keuntungan dan komponen pokoknya adalah
persekutuan kerja dan modal. Keuntungan bagi masing-masing pihak dibenarkan
atas dasar dua komponen tersebut (As-Sarakhsi, al-Mabsut, XII : 18).
Kemungkinan adanya rugi yang terkandung di dalam mudlarabah membenarkan pula
adanya keuntungan. Investor mengambil risiko rugi sebagian atau keseluruhan
modal. Sebaliknya mudlarib mengambil risiko tidak memperoleh apa-apa dari usahanya,
seandainya perniagaan itu tidak dapat merealisasikan keuntungan.
Akad mudlarabah sebaiknya menentukan
angka keuntungan bagi masing-masing pi- hak. Angka itu berupa perbandingan
bukan jumlah uang tertentu, misalnya Rp. 10.000,- kepada pihak mana saja,
membuat tidak sah mudlarabah itu. Karena
kemungkinan itu, keuntungan yang dapat dicapai tidak mungkin sama dengan jumlah
yang ditetapkan. Sebe – lum mengambil jumlah keuntungan, usaha mudlarabah harus
dikonversi ke dalam mata uang, dan modalnya disisihkan. Mudlarib berhak
memotong biaya yang berkaitan dengan usaha yang diambil dari modal mudlarabah
(Ibn Rusyd, Bidayah, II : 181).
Investor hanya bertanggung jawab atas
sejumlah modal yang telah diinvestasikan dalam usaha. Dengan alasan ini,
mudlarib tidak dibenarkan menjalankan usaha mudlarabah dengan jumlah biaya yang
lebih besar dari modal yang diinvestasikan di dalamnya. Komitmen apapun
memerlukan persetujuan investor, apakah ia akan bertanggung jawab. Kegagalan
memperoleh persetujuan investor akan mengalihkan kepada tanggung jawab
mudlarib. Sama halnya, jika mudlarib melanggar syarat akad ia akan bertanggung
jawab terhadap kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh pelanggaran itu
(As-Sarakhsi, al-Mabsut, XXII : 47). Oleh karena itu, mudlarabah bisa
dipertimbangkan bentuk akadnya, yakni investor memiliki tanggung jawab yang
terbatas tidak sama dengan mudlarib yang memikul tanggung jawab yang tidak
terbatas. Terhadap kondisi merugi dari segi pandangan mudlarib investor harus
memikul kerugian atau biaya yang timbul dari usaha mudlarabah, jika perilaku
mudlarib sesuai dengan syarat-syarat akad dan tidak menyalahgunakan atau salah
mengurus modal yang dipercayakan kepadanya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa
meskipun akad mudlarabah tidak punya dasar di dalam al-Qur'an ataupun
as-Sunnah, ternyata dimanfaat untuk mengadakan perdagangan oleh kaum muslimin
awal. Akad kemudian dikembangkan oleh fuqaha mengingat realitas perdagangan
masa mereka dan prinsip keadilan syari'ah yang luas. Ketentuan dan syarat-
syarat yang berhubungan dengan berbagai aspek akad adalah dimaksudkan untuk
melindungi baik bagi mudlarib maupun investor.
Uraian di atas merupakan aturan main
mudlarabah di dalam kitab fiqh, maka jika dibandingkan dengan praktek mudlarabah
dalam praktek lembaga keuangan syari'ah, baik bank maupun non bank, ada
sejumlah perbedaan, contoh:
a.
Capital : bisa terjadi tidak secara tunai (no cash
money is transferred to the mudlarib ,the bank makes the payment).
b.
Management : mudlarib harus mengikuti ketentuan rinci
yang diatur dalam kontrak yang dibuat oleh bank.
c.
Duration :
dibatasi/tertentu
d.
Guarantee
: sejumlah mekanisme yang harus ditaati untuk menjamin kembalinya uang.
e.
Profit and
loss sharing : yang ada hanya profit.
MURABAHAH
(المرابحـــــة)
A. Murabahah
dalam Kitab Fiqh
1. Pengertian : penjualan komoditi,
penjual dibayar dengan harga asal ditambah margin keuntungan yang diketahui
pihak penjual dan pembeli (Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh,II : 278- 80)
2. Contoh transaksi :
Ada 3 pihak, A, B, C. A memohon kepada B untuk membelikan sejumlah
barang. B tidak memiliki barang itu tetapi berjanji akan membelikan dari pihak
ketiga, C. B adalah perantara, dan
transaksi murabahah adalah antara A dan B.
Perlu dipahami bahwa sejak
lahirnya dalam hukum Islam, transaksi murabahah dimanfaatkan semata-mata untuk
tujuan komersial.
3. Dalil :
Al-Qur'an tidak menyebut secara
langsung tentang murabahah begitu pula al-Hadis. Meskipun di dalamnya ada
beberapa referensi tentang keuntungan, kerugian, dan perdagangan. Ulama awal
seperti Imam Malik, asy-Syafi'i yang khusus mengatakan bahwa penjualan
murabahah itu dibolehkan, namun mereka tidak mendukung pandangannya itu dengan
al-Hadis. Al-Kaff, seorang kritikus kotemporer menyimpulkan bahwa murabahah
adalah salah satu bentuk penjualan yang tidak dikenal pada masa Nabi maupun
para sahabatnya. Menurutnya, para ulama terkemuka mulai mengungkapkan
pandangannya tentang murabahah pada kuartal pertama abad ke-2 hijriyah atau
bahkan belakangan. (Abdullah Saeed, Islamic Banking, p. 77).
Sejak tidak ditemukan dalil yang
secara langsung menunjuk kepada murabahah baik dalam al-Qur'an maupun al-Hadis,
para faqih menetapkan murabahah dengan alasan lain. Imam Malik menunjuk kepada
praktek masyarakat Madinah: "ada consensus pendapat di Madinah tentang
kebolehan pembelian baju seseorang di suatu kota, dan dibawa ke kota lain untuk
dijual berdasarkan keuntungan yang disepakati". (Abdullah Saeed, Islamic
p. 77)
Asy-Syafi'i, tanpa pembenaran dari
teks syari'ah, ia mengatakan: :jika seseorang memperlihatkan barang kepada
orang lain seraya mengatakan: belilah ini untukku, nisca- ya aku akan memberimu
keuntungan. Kemudian orang itu membelinya, transaksi semacam ini dibolehkan
(Asy-Syafi'i, al-Umm, III : 33). Sementara al-Marghinani, seorang faqih mazhab
Hanafi, menetapkan murabahah dengan alasan: "kondisi membenarkan penjualan
yang berlaku di dalamnya, dan juga karena manusia membutuhkannya"
(Al-Marghinani, al-Hidayah, hlm. 282).
B. Murabahah dalam Praktek Lembaga
Keuangan Syari'ah
Bank Islam mengadopsi murabahah
dalam rangka menyediakan pembiayaan jangka pendek kepada nasabah untu membeli
barang-barang meskipun nasabah belum bisa membayar tunai.
Ada 2 elemen dasar dalam murabahah: 1.
Harga pembelian dan ongkos yang bertalian dengan pembelian. 2. Kesepakatan
mark-up. Ciri-ciri dasar transaksi murabahah (sebagai penjualan dengan
pembayaran yang ditangguhkan) adalah:
a.
Pembeli
mengetahui semua ongkos yang berhubungan dengan pembelian, harga asli barang,
dan margin keuntungan yang ditetapkan sebagai persentase dari total harga plus
ongkos.
b.
Subyek
penjualan berupa barang atau komoditi.
c.
Subyek
penjualan adalah milik penjual dan dapat diserahterimakan kepada pembeli.
d.
Pembayaran
ditangguhkan.
C. Pendapat
Ulama:
Murabahah dapat berupa:
1. Harga kontan tanpa mark-up sebagai
pengganti waktu yang diijinkan untuk pembayaran.
2. Harga kontan plus mark-up sebagai
pengganti waktu diijinkannya untuk pembayaran.
Fuqaha tidak menyangsikan
kebolehan dari murabahah bentuk pertama.
Perbedaan pendapat terjadi pada kebolehan harga kredit lebih tinggi dalam
penjualan dengan pembayaran yang ditangguhkan (Rafiq al-Misri, Masraf
at-Tanmiyat al-Islami, hlm. 185). Imam Malik dan asy-Syafi'i tidak menyetujui harga lebih tinggi bagi
pembayaran yang ditangguhkan dan harga lebih rendah bagi pembayaran tunai.
Meskipun mereka tidak menyetujui, namun ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan ulama
mazhab lain berpandangan bahwa pertambahan dalam penjualan dengan pembayaran
yang ditangguhkan dibolehkan (Asy-Syaukani, Nail al-Authar, V : 152). Menurut Ibn Qayyim, ketika seseorang menjual
sesuatu dengan harga 100 berdasarkan pembayaran yang ditangguhkan, atau 50
berdasar- kan pembayaran tunai, ini bukan riba. (Syauqi Ismail Sihata,
Nazhariyyat al-Muhasabat al- Maliyyah min Manzhurin Islami, hlm. 104). Para faqih seperti as-Sarakhsi, al-Marghinani,
Ibn Qudamah, dan an-Nawawi menetapkan bahwa harga lebih tinngi bagi penjualan
kredit merupakan praktek urf para pedagang dan atas dasar ini, para
faqih membolehkan harga lebih tinggi (Abdullah Saeed, Islamic Banking, p.79).
Dalam konteks perbankan Islam,
beberapa argument dikembangkan untuk mendu- kung kebolehan harga lebih tinggi
pada penjualan dengan pembayaran yang ditangguhkan:
a.
Teks-teks
syari'ah tidak melarang.
b.
Ada
perbedaan antara yang tersedia sekarang dengan tunai dan yang tersedia pada
waktu yang akan datang dengan tunai, menurut Ali al-Khafif berdasar urf bahwa uang tunai yang diberikan segera lebih
tinggi nilainya dari pada uang tunai yang diberikan pada waktu yang akan
datang.
c.
Pertambahan
ini tidak berlawanan dengan waktu yang dibolehkan untuk pembayaran. Oleh karena
itu, tidak menyerupai riba yang diharamkan dalam al-Qur'an.
d.
Pertambahan
merupakan ongkos pada waktu penjualan, bukan setelah penjualan terjadi.
e.
Pertambahan
disebabkan factor-faktor yang mempengaruhi pasar seperti permin- taan dan
penawaran dan pasangsurutnya kekuatan pembelian sebagai dampak dari inflasi
atau deflasi. (Syauqi Ismail Sihata, Nazhariyyat, hlm. 104 – 107).
f.
Penjual
terlibat dalam produksi dan diakui sebagai aktivitas komersial.
Rafiq
al-Misri mengakui bahwa penjualan dengan pembayaran yang ditangguhkan tidak
mungkin disamakan antara penjual dan tukan riba, meskipun pembayaran yang
ditangguh kan itu dalam kenyataan
terdiri atas penjualan tunai dan hutang dengan bunga. Betapapun penjual itu
sendiri menggabungkan 2 aktivitas dalam 1 aktivitas, yaitu penjualan.
Penjual dalam kasus ini mempraktekkan
setidak-tidaknya aktivitas komersial dan diakui kebolehannya. (Rafiq al-Misri,
Masraf at-Tanmiyat, hlm. 189).
Argumentasi di atas yang telah
dikemukakan oleh Bank-Bank Islam untuk membe-
narkan pertambahan dalam penjualan dengan pembayaran yang ditangguhkan
yang nyata-nyata berhubungan dengan jangka waktu hutang. Bank-bank Islam
seperti layaknya menerima kebolehan pertambahan ini, dan hal ini menjadi
praktek standar untuk membe- bani harga lebih tinggi dalam pembayaran yang
ditangguhkan sepanjang transaksi itu
secara eksplisit tidak menyangkut pertukaran uang dengan uang.
PEMINDAHAN HUTANG
(الحوالـــــــــة)
A. Pengertian
نقل الدين من ذمة المحيل الى ذمة
المحال عليه
Artinya: Pemindahan hutang dari tanggungan
seseorang kepada tanggungan pihak
ketiga.
B.
Istilah
Contoh: A berhutang kepada B. A: al-Muhil (pihak yang memindahkan
hutang).
B:
al-Muhal. A berpiutang kepada C, hutang A kepada B pembayarannya di- limpahkan
kepada C. Maka C adalah : al-Muhal 'Alaih.
C.
Dasar
Hukum:
عن أبى هريرة إنّ رسول الله ص.م. قال : مطل الغنيّ ظلم و إذا أتبع أحدكم على ملئ فليتبع. رواه البخارى و مسلم.
Artinya : Penundaan hutang dari orang yang sanggup membayar adalah perbuatan zalim, maka jika salah seorang di
antara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar,
hendaklah diterima pemindahan itu.
Lam al-amr (fal yatba') di sini menunjuk
kepada wajib atau nadb??
1. Menurut
Hanabilah – Ibn Jarir – Abu Saur – Zahiriyah = kreditur wajib menerima
pemindahan hutang kepada debitur yang mampu.
2. Jumhur : menunjuk kepada istihbab.
D. Syarat Hiwalah
1. Adanya kerelaan dari muhil dan muhal, dan
tidak perlu dari pihak muhal 'alaih. Ada
yang
mengatakan tanpa kerelaan muhil dan muhal, karena Hadis menyebut: "idza
utbi'a
ahadukum 'ala mali'in fal yatba' ". Sedang alasan: tanpa kerelaan dari
muhal
'alaih,
karena Hadis tidak menyebutkan itu.
2. Hak muhil dan muhal harus sama dalam
jenis dan nilainya.
3. Adanya hutang. 4. Hak muhil dan muhal harus diketahui.
E. Sebab-sebab yang Membatalkan Hiwalah
1.
Muhal 'alaih mengingkari adanya hiwalah
2. Muhal 'alaih meninggal dunia dalam
keadaan pailit, tidak meninggalkan harta dan
tidak ada penjamin baginya.
3. Muhal 'alaih ditetapkan sebagai orang
yang jatuh pailit.
Menurut Jumhur,
jika muhal 'alaih pailit, atau mengingkari hiwalah, atau meninggal, pihak muhal
tidak bisa menuntut kepada muhil. Tidak demikian menurut Abu Hanifah, Syuraih
dan lain-lain.
F. Jenis
Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi ke dalam beberapa
bagian:
1. Ditinjau dari segi Obyek
a. Hiwalah al-Haq : yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang.
b. Hiwalah ad-Dain : yang dipindahkan
itu kewajiban untuk membayar hutang.
2.
Ditinjau dari sisi lain
a. Hiwalah
Muqayyadah : pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak I kepada
pihak II.
Contoh:
A berpiutang kepada B Rp. 500.000,- , B
juga berpiutang kepada C sebesar Rp. 500.000,-.
B kemudian memindahkan haknya untuk menuntut piutangnya yang ada pada
C kepada A, sebagai ganti dari
pembayaran hutang B kepada A.
Hiwalah jenis ini, mengandung makna hiwalah al-haq: mengalihkan
hak menuntut piutang dari C kepada A.
Juga
mengandung makna hiwalah ad-dain: karena B mengalihkan kepada A, se-
hingga menjadi kewajiban C kepada A.
b. Hiwalah
Muthlaqah: Pemindahan hutang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari
pembayaran hutang pihak I kepada pihak II.
Contoh:
A berhutang kepada B sebesar Rp.
600.000,-. A mengalihkan hutangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar
hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai
ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A.
Sehingga hiwalah jenis ini hanya mengandung hiwalah ad-dain saja.
G. Rukun
Hiwalah
1. Mazhab
Hanafi : Shighah (ijab dan qabul).
2. Jumhur
: a. pihak I b. pihak
II c. pihak III d. ada hutang pihak I kepada
pihak II e. ada hutang pihak
III kepada pihak I. f. Shighah.
H. Syarat
Hiwalah (perluasan penjelasan poin D)
1. Bagi pihak I
a.
Cakap melakukan tindakan hukum
b. Ada persetujuan dari pihak I terhadap pihak II
2. Bagi pihak II
a. Cakap melakukan tindakan hukum
b. Ada persetujuan dari pihak II terhadap pihak I
3. Bagi pihak III
a. Cakap melakukan tindakan hukum
b. Ada persetujuan dari pihak
III (mazhab Hanafi). Jumhur tidak mensyaratkan, sebab dalam hiwalah pihak III dipandang sebagai obyek akad.
4. Bagi hutang yang dialihkan
a. Berbentuk hutang piutang yang sudah
pasti
b. Hutang dalam bentuk hiwalah
muqayyadah: hutang bagi para pihak harus sama dalam jumlah dan
kualitasnya. Sedang dalam bentuk hiwalah
muthlaqah : hutang tersebut tidak harus sama.
I. Akibat Hukum
1. Jumhur : kewajiban pihak I untuk membayar hutang kepada pihak II dengan sendiri- nya gugur. Kamal ibn Humam : kewajiban tersebut masih tetap
ada, selama pihak III belum melunasi.
2. Akad
hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak
II untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak III.
WAKALAH
وكالــــــــة
A. Pengertian
bahasa:
Tahfizh
(penjagaan)
Wakalah
Tafwidl (penyerahan)
Malikiyah Pengalihan kewenangan perihal harta
dan perbuatan
B. Istilah Syafi'iyah tertentu dari seseorang kepada orang
lain untuk me -
Hanabilah ngambil tindakan tertentu dalam
hidupnya.
C. Rukun dan
Syarat
Wakil
1. Aqidani =
Ahliyah al-'ada' al-kamilah
Muwakkil
2.
Obyek : dinyatakan secara jelas
3.
Tujuan : perbuatan mubah
4.
Shighah
Dalam Wakalah berlaku akad ijarah wakil berhak upah.
D. Ketentuan
bagi Wakil :
1. Berhak upah
2. Dalam wakalah tertutup : wakil tidak
boleh mewakilkan kepada orang lain
3. Dalam wakalah terbuka : boleh melimpahkan kepada orang lain (Hanafiyah)
Malikiyah : Wakil tidak berhak menyerahkan
wakalah kepada wakil lain.
Syafi'iyah dan Hanabilah
: Dalam kondisi apapun seorang wakil tidak boleh menyerahkan kepada
wakil lain. Jika tidak mampu melakukan, wakalah diserahkan kepada muwakkil.
WADI'AH
وديعــــــة
A. Pengertian : Mengikutsertakan
orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkap
an yang jelas
maupun melalui isyarat.
B. Dasar Hukum
:
إنّ الله يأمركم أن تؤدّوا الأمانات إلى أهلها .... النســــاء : 58
... فاليؤدّ الذى أؤتمن أمانتـــــه ... البقرة : 238
C. Rukun
Wadi'ah
1. Aqidani
2. Barang titipan
3. Shighah
D. Syarat
wadi'ah
1. Aqidani
a. Mazhab Hanafi : harus berakal tidak
mensyaratkan baligh
b. Jumhur Ulama : baligh – berakal –
cerdas (rusyd) (karena akad wadi'ah
banyak mengandung risiko penipuan. Sehingga syarat cerdas: mampu mengatasi
apabila terjadi persengketaan.
2. Barang titipan
a. Dapat diketahui jenisnya
b. Dapat dikuasai untuk dipelihara
E. Sifat Akad
Wadi'ah
1. Amanah : semua kerusakan bukan karena disengaja, tidak menjadi
tanggung jawab pihak yang dititipi.
2. Orang yang
dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan, tidak dikenakan ganti rugi, sebagaimana bunyi Hadis:
لا ضمــان على مؤتمـن رواه
الدارقطنى.
Artinya: Tidak
ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanah (HR. ad-
Daruquthni)
3. Karena bersifat amanah : maka tidak
berhak menuntut upah.
F. Perubahan
Wadi'ah dari Amanah Menjadi Dlamanah
Para ulama fiqh memikirkan
kemungkinan lain, yaitu dari wadi'ah yang bersifat amanah berubah menjadi
wadi'ah yang bersifat dlamanah (ganti rugi).
Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1. Barang itu tidak dapat dipelihara oleh orang yang
dititipi. Demikian juga halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya,
tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasinya
(mencegahnya).
2. Barang titipan itu dititipkan lagi kepada orang lain
yang bukan keluarga dekat, atau orang yang bukan di bawah tanggung jawabnya.
3. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang
dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan
seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
4. Orang yang dititipi mengingkari ada barang titipan
kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya
dalam akad
wadi'ah disebutkan jenis barang, jumlah, ataupun sifat-sifat lain, sehingga
apabila
terjadi pengingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
5. Orang yang menerima titipan barang itu,
mencampuradukkan dengan barang pribadinya, sehingga sekiranya ada yang rusak
atau hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang
rusak (hilang) atau barang titipan itu.
6. Orang yang menerima titipan itu tidak menepati
syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang, seperti tempat
penyimpanannya dan syarat-syarat lainnya.
G. Praktek
Wadi'ah di Indonesia
Wadi'ah dipraktekkan di bank-bank
yang menggunakan system syari'ah, seperti Bank Mu'amalat Indonesia (BMI). Bank
Mu'amalat Indonesia mengartikan wadi'ah sebagai titipan murni yang dengan izin
penitip, boleh digunakan oleh bank. Demikian juga menge- nai keuntungan yang
diperoleh sepenuhnya menjadi milik bank. Namun, pihak BMI mengambil suatu
kebijaksanaan, bahwa kepada pemilik (nasabah wadi'ah) dapat diberikan bonus.
Kebijaksanaan ini sejalan dengan mazhab HAnafi dan Hanbali.
Perhitungannya adalah: Saldo giro
wadi'ah seseorang sebesar Rp. 1.000.000,- (saldo minimum untuk mendapat bonus).
Bonus akan diberikan kepada nasabah giro sebesar 25%. Diasumsikan total saldo
giro BMI ada sebesar Rp. 200.000.000,-
dan keuntungan yang di- peroleh untuk giro wadi'ah sebesar Rp. 6.000.000,-
pada akhir bulan, nasabah giro wadi'ah akan mendapat bonus:
Rp. 1.000.000,- x
Rp. 6.000.000,- x 25 % = Rp. 7500,- (belum potong pajak).
Rp. 200.000.000
Dalam perkembangan
bentuk-bentuk titipan (wadi'ah) di dunia Islam, semakin bervariasi dan pihak-pihak
yang terkait pun semakin beragam. Umpamanya, Giro Pos dan Tabungan yang
dikelola oleh pihak perbankan, yang pada dasarnya barang titipan yang se
waktu-waktu dapat diambil oleh pihak penitip. Semula hanya titipan benda
(barang berharga), berubah menjadi titipan uang. Hanya saja tabungan yang ada
di bank berkaitan dengan bunga, sedangkan wadi'ah dasarnya tolong-menolong,
tanpa ada imbalan jasa.
Kebijaksanaan yang ditempuh oleh
Bank seperti disinggung di atas dapat dibenarkan oleh sebagian ulama (mazhab
Hanafi dan Hanbali). Sebab, bonus yang
diberikan itu tidak berdasarkan akad kedua belah pihak.
JI'ALAH
جعــالـــة
A. Pengertian
Istilah Fiqh :
Janji
memberikan imbalan upah tertentu secara suka rela terhadap orang yang berhasil
melakukan perbuatan yang belum pasti dapat dilaksanakan/dihasilkan sesuai
dengan yang diharapkan.
B. Pengertian
menurut Mazhab Maliki :
Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang
belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang.
Pengertian menurut Mazhab Syafi'i :
Seseorang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan
jasa tertentu kepadanya.
C. Perbedaan
Ji'alah dan Ijarah:
JI'ALAH
IJARAH
1. Upah/hadiah
yang dijanjikan hanya
1. Orang yang melaksanakan pekerja-
diterima oleh orang yang
menyatakan an berhak
atas upah sesuai dengan
sanggup mewujudkan apa yang
menjadi prestasi yang
diberikan, meskipun
obyek pekerjaan.
Pekerjaan belum selesai.
2. Tidak tegas batas waktu penyelesaian,
be- 2. Batas waktu – cara –
bentuk, dise-
gitu juga cara dan bentuk
pekerjaan. Butkan
secara tegas.
3. Tidak dibenarkan memberi upah/hadiah 3. Dibenarkan, baik keseluruhan/se-
sebelum pekerjaan dilaksanakan bagian sesuai
kesepakatan.
4. Tindakan hukum bersifat sukarela
sehing- 4. Transaksi bersifat
mengikat semua
ga apa yang dijanjikan boleh
dibatalkan pihak yang
berakad. Jika ada pem-
selama pekerjaan belum diawali,
tanpa batalan, maka
ada akibat hukum.
menimbulkan akibat hukum. Biasanya sanksi disebutkan dalam
akad.
5. Mazhab Maliki menetapkan kaidah:
semua 5. Tidak semua yang
dibenarkan
yang boleh menjadi obyek akad dalam
ji'alah menjadi obyek ijarah,
dibenarkan
boleh menjadi obyek akad ijarah. Menjadi obyek
akad ji'alah.
Contoh : Menggali sumur sampai
menemukan air, bisa menjadi akad ijarah. Tetapi tidak boleh menjadi akad
ji'alah. Karena dalam ijarah: penggali sumur berhak upah, meskipun belum
ditemukan airnya.
D. Persyaratan
Ji'alah:
1. Orang yang menjajikan upah : cakap
melakukan tindakan hukum
2. Upah/hadiah : harta yang bernilai dan
jelas jumlahnya.
3. Pekerjaan yang diharapkan, harus
mengandung manfaat yang jelas dan mubah.
4. Mazhab Maliki dan Syafi'i : ji'alah
tidak boleh dibatasi waktu.
Mazhab Hanbali : boleh.
E. Dasar Hukum:
قالوا نفقد صواع الملك و لمن جاء به حمل بعير و أنا به زعيم. يوسف : 72
Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
Secara logika :
ji'alah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk memenuhi
keperluan manusia.
HIBAH – HADIAH – SHADAQAH
هبـــــة – هديــــــــــة – صدقـــــــة
A. Pengertian
Hibah : Transaksi yang obyeknya adalah pemberian
harta seseorang kepada orang
lain sewaktu masih hidup tanpa imbalan. Hibah dalam pengertian khusus.
B. Hibah dalam pengertian umum, meliputi:
1. Hadiah :
pemberian tanpa imbalan dan pihak yang diberi boleh
membalasnya dengan nilai yang serupa atau lebih tinggi.
2. Ibra'
(pelepasan hak) : melepaskan hutang bagi pihak yang
berhutang.
3. Shadaqah
: Pemberian tanpa imbalan karena mengharapkan
pahala di akhirat.
C. Dasar Hukum:
1- عن خالد بن عدىّ الجُهنى قال: سمعت رسول الله ص.م. يقول: من
بلغـه معروف عـن أخيه من غيرمسألة و إشراف نفس فليقبلْه ولا يردّه فإنمــا هو رزق ساقــه الله
عزّ و جلّ إليه. رواه أحمد.
2- عن أنس قال : قال رسول
الله ص.م. لو أُهـدى إلىّ كُراع لقبـلت. و لو دُعيت عليه لأجبت. رواه
أحمد و الترمذى.
D. Rukun Hibah : Ijab dan Qabul
E. Syarat : الواهب – موهوب له – موهوب.
1. Syarat wahib : a. pemilik barang b. baligh c. kemauan sendiri
2. Syarat mauhub lahu : orangnya
benar-benar ada
3. Syarat mauhub : a. barangnya benar-benar
ada b. harta yang bernilai
(mutaqawwim)
c. milik
yang memberi.
G A D A I
الرهـــــــن
A. Pengertian
Gadai
Gadai adalah hak atas benda terhadap
benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang
sebagai jaminan pelunasan hutang.
Jaminan dengan benda tak bergerak
disebut hipotek (hak benda terhadap sesuatu benda tak bergerak yang
memberi hak preferensi kepada seseorang yang berpiutang/pemegang hipotek untuk
memungut piutangnya dari hasil penjualan tersebut).
Si pemegang gadai berhak menguasai
benda yang digadaikan kepadanya selama hutang belum lunas, tetapi ia tidak
berhak mempergunakan benda itu. Ia berhak menjual gadai itu, jika si berhutang
tidak mau membayar hutangnya. Jika hasil gadai itu lebih besar daripada hutang
yang harus dibayar, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada si pegadai
(Rahin). Jika hasilnya tidak mencukupi pembayaran hutang, maka si pemiutang
(Murtahin) tetap berhak menagih piutangnya yang belum dilunasi.
Penjualan gadai harus dilakukan di
depan umum dan sebelum penjualan dilakukan biasanya hal itu harus diberitahukan
lebih dahulu kepada si pegadai.
B. Dasar Hukum
Gadai
1. Al-Qur'an :
و إن كنتم على سفـــر و لم تجدوا كاتبــا فرهان مقـبوضـة فإن أمن بعضكم بعضا
فليؤدّ الذى أؤتمــن أمانتــــه و ليتّــق الله ربّــــه... البقــرة : 283
2. As-Sunnah :
عن أنس قال : رهــن رسول الله ص.م.
درعا عند يهــودىّ بالمدينة و أخذ شعيرا لأهــلــه. رواه
البخارى و النساء.
Artinya: Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw telah
merungguhkan baju
besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau
menghutang
gandum untuk keluarga
beliau (HR. al-Bukhari dan
an-Nasa'i).
C. Hukum Gadai: Mubah (baik dalam keadaan
bepergian maupun tidak = jumhur).
D. Syarat Gadai
Menurut as-Sayyid Sabiq:
1. Pegadai (rahin) dan pemegang gadai
(murtahin) : berakal dan baligh.
2. Barang yang digadaikan (marhun): sudah ada pada saat terjadi akad
gadai, dapat dise- rahkan, barang
jaminan dapat berupa emas, berlian, benda bergerak lainnya dan dapat pula
berupa surat-surat berharga (surat tanah, rumah).
E. Pemanfaatan
Barang Gadai
Dalam
masyarakat, ada beberapa cara pemanfaatan barang gadai:
1. Barang
gadai berupa sawah atau kebun dikelola
oleh pemegang gadai dan hasilnyapun sepenuhnya dimanfaatkannya.
2. Barang gadai
sawah atau kebun, diolah oleh pemilik sawah atau kebun, tetapi hasilnya dibagi
antara pemilik dan pemegang gadai. Seolah-olah jaminan itu milik pemegang gadai
selama piutangnya belum dikembalikan.
Pada dasarnya pemilik barang
seperti sawah atau kebun, dapat mengambil manfaat dari sawah itu, berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
لا يَغلِـــق الرهــنُ من صاحبـه الذى رَهِــنه له غُنـمه و عليه
غُـــرمه رواه الدارقطنى.
Artinya: Jaminan itu tidak
menutupi si pemilik dari manfaat barang (yang digadaikan)
itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia (juga) wajib memikul beban
(pemeliharaan). (HR. ad-Daruquthni),
إذا ارتهـن شاة شرب المرتهـن لبنها بقدر علفـه فإن استفضـل من اللبن شئ بعد
ثمن العلف فهو ربا رواه حمـّار
ابن سلامــة.
Artinya: Apabila
seekor kambing dijadikan jaminan, maka yang memegang jaminan itu boleh meminum
susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikan kepada kambing itu, jika
dilebihkannya dari sebanyak (pengeluaran) itu, maka lebihnya itu menjadi riba.
(HR. Hammar bin Salamah).
Kendatipun pemilik barang jaminan
boleh memanfaatkan hasilnya, tetapi dalam beberapa hal dia tidak boleh
bertindak untuk menjual, mewakafkan atau
meyewakan barang jaminan itu, sebelum ada persetujuan dari pemegang barang
gadai (murtahin).
Apabila dipahami kedua Hadis di atas,
maka apa yang berlaku dalam masyarakat
seperti contoh di atas, sudah menyalahi ketentuan agama karena
seolah-olah pemegang barang gadai berkuasa penuh atas barang jaminan itu. Cara
seperti itu, merupakan pemerasan dan sama dengan praktek riba.
Menurut ulama Hanafiyah, pemegang
barang gadai boleh memanfaatkan barang gadai atas izin pemiliknya. Sebab
pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendaki,
termasuk pemegang gadai boleh mengambil manfaat dan tidak termasuk riba.
Menurut Mahmud Syaltut, sejalan
dengan ulama Hanafiyah, dengan ketentuan bahwa izin pemilik itubenar-benar
keluar dari hati yang tulus.
Menurut M. Ali Hasan, barang jaminan seperti
sawah atau kebun hendaknya diolah agar
tidak mubazir dan mengenai hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan
pemegang gadai, atas kesepakatan bersama. Hasilnya tidak boleh menjadi hak
sepenuhnya pemegang gadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek
semacam inilah yang diupayakan agar lurus dan sejalan dengan ajaran Islam.
Barang jaminan (benda bergerak)
sepeti emas, kendaraan dan lain-lain, sebaiknya jangan dimanfaatkan, karena
mengandung risiko rusak, hilang, atau berkurang nilainya.
KAFALAH
كفـــــالـــــة
A. Pengertian:
1. Bahasa: tanggungan atau jaminan
2. Istilah:
menjamin untuk membayar hutang, mengadakan barang, atau menghadirkan orang pada
tempat yang telah ditentukan.
Pengertian jaminan ini terus berkembang dalam masyarakat kita seperti
jaminan tahanan atas seseorang tersangka, jaminan pelaksanaan proyek, dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian istilah di
atas, dalam kafalah mengandung tiga permasalahan:
1. Jaminan
atas hutang seseorang. Contoh: A menjamin hutang B kepada C. Dengan
de- mikian C boleh menagih
piutangnya kepada A atau kepada B.
2. Jaminan
dalam pengadaan barang. Contoh: A menjamin
mengembalikan barang yang
dipinjam
oleh B dari C. Apabila B tidak mengembalikan
barang itu kepada C, maka A wajib mengembalikannya kepada C.
3. Jaminan dalam menghadirkan seseorang di tempat tertentu. Contoh: A
menjamin
menghadirkan B yang sedang
dalam perkara ke muka pengadilan pada waktu dan
tempat yang
telah ditentukan.
Dari
pengertian di atas dapat dipahami, bahwa kafalah dapat diterapkan dalam
berbagai bidang dalam mu'amalah, menyangkut jaminan atas harta benda dan jiwa
manusia.
Imam al-Mawardi (mazhab Syafi'i)
mengatakan, bahwa kafalah/dlaman dalam pendayagunaan harta benda, tanggungan
dalam masalah diyat, jaminan terhadap kekayaan, terhadap jiwa, dan jaminan
terhadap beberapa perserikatan, sudah ,menjadi kebiasaan masyarakat.
B. Dasar Hukum:
1. Al-Qur'an:
قالوا نفـقد صُـواعَ المـلك و لمن جاء به حمل بعيـر و أنا به زعيـم. يوسف:
72
Artinya: Penyeru-penyeru itu
berkata: "Kami kehilangan piala raja, siapa yang dapat
mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta,
dan aku
menjamin terhadapnya. (Yusuf : 72).
2. As-Sunnah
عن سلمة بن الأ كْــوَعِ قال: كنا جلوسا عند النبىّ ص.م. ... ثم أتىَ
بالثالثة فقالوا صلِّ عليها قال هل ترك شيئــا قالوا لا قال فهل عليـه ديـن؟ قالوا
ثلا ثة دنانيرَ قال صلّــوا على صاحبكم قال أبو قتادة صلِّ عليه يا رسول الله علىّ
ديـنه فصلّى عليه. رواه البخارى.
Artinya:
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa', ia berkata: Kami duduk dekat Nabi, ....
kemudian dihadapkan jenazah ketiga, mereka berkata kepada Rasulullah
shalatkanlah jenazah ini, beliau bertanya:"Adakah ia meninggalkan harta?
Jawab mereka tidak". Beliau bertanya lagi: apakah ia ada meninggalkan
hutang? Jawab mereka "ada , hutangnya tiga dinar". Ujar beliau,
shalatkanlah teman kalian itu. Abu Qatadah berkata: Shalatkanlah dia ya
Rasulallah dan hutangnya itu saya yang menjaminnya. Kemudian beliau
menshalatkan jenazah itu". (HR. al-Bukhari).
Ijma' ulama membolehkan kafalah dalam mu'amalah, karena kafalah sangat
diperlukan dalam waktu tertentu. Adakalanya orang memerlukan modal dalam usaha
dan untuk mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari seseorang yang
dapat dipercaya, apalagi jika usaha dagangnya besar.
C. Rukun dan Syarat Kafalah
1. Orang yang menjamin (kafil) :
berakal, baligh,
merdeka dalam mengelola harta bendanya,
kehendak sendiri.
2.
Orang yang berpiutang (orang yang menerima jaminan):
diketahui
oleh penjamin. Sebab watak manusia itu berbeda-beda dalam menghadapi orang yang
berhutang, ada yang keras dan ada yang lunak. Juga untuk menghindari kekece-
waan di belakang hari bagi penjamin, bila orang yang dijamin membuat ulah.
3. Orang yang berhutang
Orang
yang berhutang, tidak disyaratkan baginya kerelaannya terhadap penjamin, karena
pada prinsipnya hutang itu harus lunas, bail orang yang berhutang rela maupun
tidak. Namun, lebih baik dia rela.
4. Obyek jaminan hutang, berupa uang,
barang, atau orang.
Disyaratkan keadaannya diketahui dan telah ditetapkan. Oleh sebab itu,
tidak sah kafalah, jika obyek jaminan hutang tidak diketahui dan belum
ditetapkan, karena ada ke- mungkinan hal itu ada gharar (tipuan).
5. Shighah
Disyaratkan mengandung makna jaminan, tidak digantungkan pada sesuatu.
Misalnya: "Saya menjamin hutangmu kepada A", dan sebagainya.
Shighah hanya diperlukan bagi
pihak penjamin. Dengan demikian, kafalah adalah pernyataan sepihak saja.
Hendaknya
diingat bahwa jaminan berlaku hanya menyangkut harta dengan sesama manusia
saja, tidak dengan Allah. Umpamanya menjamin hukuman qishas bagi pembunuh, atau potong tangan bagi pencuri.
Hukuman tersebut harus dijalani langsung oleh pelakunya dan tidak boleh
dialihkan kepada orang lain.
D. Contoh
Kafalah dalam Pelaksanaan Proyek
Pemberian garansi kepada nasabah
untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak
yang dijamin dengan cara bank meminta pihak yang dijamin untuk menyetorkan
sejumlah dana sebagai setoran jaminan dengan prinsip al-wadi'ah. Hasilnya, bank
akan memperoleh fee.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1
A. Pengertian
Syari'ah ………………………………………………………………… 1
B. Seluk Beluk
Fiqh …………………………………………………………………… 1
HARTA ………………………………………………………………………………..
1
A. Pengertian
………………………………………………………………………….. 2
B. Problem
……………………………………………………………………………. . 2
C. Secara
Fungsional …………………………………………………………………..
3
D. Fungsi Harta
………………………………………………………………………... 3
E. Kedudukan
…………………………………………………………………………. 3
F. Macam – macam
Harta …………………………………………………………….. 3
H A K ………………………………………………………………………………….
4
A. Pengertian
secara Harfiyah …………………………………………………………
4
B. Secara Istilah
……………………………………………………………………….. 5
C. Analisis
……………………………………………………………………………... 5
D. Hak dan Iltizam
…………………………………………………………………….. 5
E. Macam – macam
Hak 'Aini ………………………………………………………… 6
A K A D ……………………………………………………………………………….
7
A. Pengertian
………………………………………………………………………….. 7
B. Rukun
……………………………………………………………………………… 7
C. Syarat
……………………………………………………………………………… 7
D. Akad dilihat
dari Segi Pemenuhan terhadap Syarat dan Rukun ………………….. 8
E. Akad dilihat
dari Segi Maksud dan Tujuannya
…………………………………... 9
JUAL BELI …………………………………………………………………………..
9
A. Pengeretian
……………………………………………………………………… 9
B. Dalil
……………………………………………………………………………….. 9
C. Sistematika
Jual Beli Mazhab Hanafi ………………………………………………
10
D. Rukun Jual Beli
……………………………………………………………………. 11
KHIYAR ……………………………………………………………………………..
12
A. Pengertian
…………………………………………………………………………. 12
B. Hikmah
……………………………………………………………………………. 12
C. Ada dua Hal Sahnya Khiyar Akad ………………………………………………… 12
D. Macam-macam
Khiyar ……………………………………………………………. 12
SALAM DAN
ISTISHNA' …………………………………………………………. 15
A. Pengertian
…………………………………………………………………………. 15
B. Menurut Fuqaha
Hanafiyah ……………………………………………………….. 15
C. Secara Prinsip
……………………………………………………………………… 16
D. Syarat Akad
Salam ………………………………………………………………… 16
E. Syarat – Syarat
yang Masih Diperselisihkan ……………………………………….
16
F. Syarat
Istishna' ……………………………………………………………………...
17
AL-IJARAH ………………………………………………………………………….
17
A. Pengertian
secara Bahasa ………………………………………………………….
17
B. Pengertian
secara Istilah …………………………………………………………..
17
C. Istilah Teknis
……………………………………………………………………… 17
D. Dalil
………………………………………………………………………………. 18
E. Rukun Ijarah
……………………………………………………………………… 18
F. Syarat Sahnya
Ijarah ……………………………………………………………… 18
G. Ijarah
(sewa-menyewa) ……………………………………………………………
19
H. Ijarah
(upah-mengupah) …………………………………………………………..
20
PERSEKUTUAN
MODAL (ASY-SYIRKAH) …………………………………… 22
A. Pengertian
………………………………………………………………………… 22
B. Dasar Hukum
……………………………………………………………………... 22
C. Rukun Syirkah
…………………………………………………………………… 22
D. Syarat – Syarat
………………………………………………………………… 22
E. Macam – Macam Syirkah
……………………………………………………….. 23
MUDLARABAH …………………………………………………………………….
27 A.Pengertian Istilah
………………………………………………………. ………… 27
B.
Dalil
……………………………………………………………………………..
27
C.
Syarat
Sahnya Akad Mudlarabah ………………………………………………
28
D.
Kedudukan
Mudlarib …………………………………………………………..
28
E.
Rukun
Mudlarabah …………………………………………………………….
28
F.
Unsur –
Unsur Penting dalam Akad Mudlarabah ……………………… ……. 28
MURABAHAH ………………………………………………………………… 33
A. Murabahah dalam Kitab Fiqh
……………………………………………….. 33
B. Murabahah dalam Praktek Lembaga Keuangan
Syari'ah …………………… 34
C. Pendapat Ulama
……………………………………………………………… 34
PEMINDAHAN HUTANG ( AL-HIWALAH ) ……………………………... 36
A. Pengertian ……………………………………………………………………. 36
B. Istilah ………………………………………………………………………… 36
C. Dasar Hukum
………………………………………………………………..
36
D. Syarat Hiwalah ……………………………………………………………… 36
E. Sebab – Sebab yang Membatalkan Hiwalah ………………………………… 36
F. Jenis Hiwalah ………………………………………………………………… 37
G. Rukun Hiwalah ………………………………………………………………. 38
H. Syarat Hiwalah ……………………………………………………………… 38
I.
Akibat Hukum ………………………………………………………………. 38
WAKALAH
…………………………………………………………………… 39
A, Pengertian Bahasa
…………………………………………………………… 39
B. Istilah
………………………………………………………………………...
39
C. Rukun dan Syarat ……………………………………………………………. 39
D. Ketentuan bagi Wakil ……………………………………………………….. 39
WADI'AH
……………………………………………………………………… 40
A. Pengertian
……………………………………………………………………
40
B. Dasar Hukum
…………………………………………………………………
40
C. Rukun Wadi'ah ………………………………………………………………. 40
D. Syarat Wadi'ah ……………………………………………………………….. 40
E. Sifat Akad Wadi'ah …………………………………………………………… 40
F. Perubahan Wadi'ah dari Amanah menjadi
Dlamanah ………………………… 41
G. Praktek Wadi'ah di Indonesia ………………………………………………… 41
JI'ALAH …………………………………………………………………………
42
A. Pengertian Istilah Fiqh
……………………………………………………….. 42
B. Pengertian Menurut Mazhab Maliki dan Syafi'i ………………………………
42
C. Perbedaan Ji'alah dan Ijarah
………………………………………………….. 42
D. Persyaratan Ji'alah
……………………………………………………………. 43
E. Dasar Hukum
…………………………………………………………………. 43
HIBAH – HADIAH – SHADAQAH …………………………………………… 44
A. Pengertian Hibah
……………………………………………………………… 44
B. Hibah dalam Pengertian Umum
………………………………………………. 44
C. Dasar Hukum
…………………………………………………………………. 44
D. Rukun Hibah
………………………………………………………………….. 44
E. Syarat
………………………………………………………………………….. 44
GADAI …………………………………………………………………………… 45
A. Pengertian Gadai ……………………………………………………………. 45
B. Dasar Hukum Gadai ………………………………………………………… 45
C. Hukum Gadai ………………………………………………………………. 45
D. Syarat Gadai ……………………………………………………………….. 46
E. Pemanfaatan Barang Gadai
……………………………………………….. 46
KAFALAH ……………………………………………………………………..
48
A. Pengertian
……………………………………………………………………. 48
B. Dasar Hukum
………………………………………………………………… 48
C. Rukun dan Syarat Kafalah
………………………………………………… 49
D. Contoh Kafalah dalam Pelaksanaan Proyek ……………………………… 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar